Getty Images
Banyak warga Afrika Selatan sangat terikat dengan tanah mereka.
Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa berada di pusat kontroversi politik setelah menyetujui undang-undang yang memberi negara kekuasaan untuk mengambil alih beberapa tanah milik pribadi tanpa kompensasi bagi pemiliknya.
Undang-undang ini, yang belum diterapkan, telah memicu amarah Presiden AS Donald Trump, yang melihatnya sebagai diskriminasi terhadap petani kulit putih. Partai-partai sayap kanan tengah dan kelompok lobi di Afrika Selatan juga menentangnya, dengan alasan bahwa undang-undang ini mengancam hak properti.
Pemerintah Ramaphosa mengatakan bahwa undang-undang ini tetap menyediakan kompensasi dalam mayoritas kasus—dan perubahan diperlukan untuk meningkatkan kepemilikan tanah oleh warga kulit hitam.
Sebagian besar lahan pertanian swasta masih dimiliki oleh orang kulit putih. Ketika Nelson Mandela berkuasa lebih dari 30 tahun lalu, mengakhiri sistem apartheid, dijanjikan bahwa ketimpangan ini akan diperbaiki melalui reformasi tanah berbasis "penjual dan pembeli yang bersedia"—tetapi kritikus mengatakan proses ini terlalu lambat dan mahal.
Apa saja yang bisa diambil tanpa kompensasi?
Dalam kasus langka, tanah yang diambil akan digunakan untuk "kepentingan publik," menurut ahli hukum. Menurut firma hukum Werksmans Attorneys, hal ini terutama terkait program reformasi tanah.
Namun, bisa juga digunakan untuk mengakses sumber daya alam seperti mineral dan air. Ahli Bulelwa Mabasa dan Thomas Karberg menyatakan bahwa lahan pertanian produktif tidak bisa diambil tanpa kompensasi.
EWC (pengambilalihan tanpa kompensasi) hanya berlaku dalam beberapa kondisi:
- Jika pemilik tidak menggunakan tanah dan menahannya untuk spekulasi
- Jika pemilik meninggalkan tanah tanpa pengawasan
Namun, pemilik tetap mungkin mendapat kompensasi untuk bangunan dan sumber daya alam di atasnya. Mabasa dan Karberg menambahkan bahwa EWC tidak hanya terbatas pada lahan pedesaan, tetapi juga bisa termasuk tanah perkotaan.
Mengapa kompensasi akan berkurang?
Pemerintah berencana memberikan kompensasi "adil dan setara," bukan nilai pasar yang lebih tinggi. Mabasa dan Karberg menyatakan bahwa kompensasi nilai pasar sebelumnya bertentangan dengan konstitusi.
Hal ini juga berlaku untuk pengambilalihan untuk kepentingan publik, seperti pembangunan sekolah atau rel kereta.
Akankah pemerintah lebih mudah mendapatkan tanah?
Pemerintah berharap demikian. Profesor Ruth Hall dari University of Western Cape mengatakan lebih dari 80.000 klaim tanah belum terselesaikan. Di beberapa wilayah, pekerja kulit hitam tinggal di lahan petani tanpa bayaran—hanya sebagai imbalan tempat tinggal.
Pemerintah ingin memindahkan kepemilikan tanah ini kepada pekerja, dan menurut Hall, tidak adil jika harus membayar nilai pasar.
Namun, ia meragukan pemerintah akan segera menerapkan undang-undang ini karena "biaya politik" yang tinggi.
Bagaimana reaksi di Afrika Selatan?
Partai Aliansi Demokratik (DA), partai terbesar kedua dalam koalisi, menentang undang-undang ini. Kelompok lobi Afrikaner seperti Solidarity Movement juga khawatir, meski mereka tidak yakin akan terjadi pengambilalihan besar-besaran.
Asosiasi Pemilik Properti mengatakan tidak rasional memberikan kompensasi nol untuk tanah spekulatif.
Apa kata pemerintah?
Menteri Pekerjaan Umum Dean Macpherson membela undang-undang ini. Ia memberi contoh kasus Eskom, di mana spekulan memblokir proyek jaringan listrik dengan menaikkan harga tanah secara drastis.
Ia juga mencontohkan bangunan yang dihuni ilegal di kota-kota besar. Jika biaya perbaikan melebihi nilai bangunan, pengadilan bisa memutuskan kompensasi nol.
Namun, ia menegaskan bahwa hal ini tidak berlaku untuk lahan pertanian.
Apa selanjutnya?
Undang-undang ini masih tertunda, karena Ramaphosa belum menetapkan tanggal implementasi. Ia mungkin menunda karena negosiasi perdagangan dengan AS.
Sementara itu, DA berupaya mengajukan judicial review dan menantang konstitusionalitasnya di pengadilan.
Isu tanah tetap sensitif, dan ketegangan akan terus berlanjut—baik di dalam negeri maupun dengan pemerintahan AS.
Getty Images/BBC