Hamas Setuju Proposal Gencatan Senjata AS untuk Gaza, Tapi Ditolak Pihak Amerika
Menurut sumber Al Jazeera, Hamas telah menyetujui proposal gencatan senjata yang diajukan Amerika Serikat untuk Gaza. Namun, seorang pejabat AS membantah klaim tersebut dan menyebut bahwa kesepakatan yang sedang dibahas "tidak dapat diterima" dan "mengecewakan."
Pejabat Israel juga membantah bahwa proposal itu berasal dari AS, mengatakan pada Senin bahwa tidak ada pemerintahan Israel yang bisa menerimanya, sebagaimana dilaporkan Reuters.
Laporan yang bertolak belakang ini muncul ketika pasukan Israel terus melanjutkan pemboman tanpa henti terhadap warga Palestina yang kelaparan di Gaza, sekaligus membatasi ketat masuknya bantuan kemanusiaan ke wilayah terkepung itu.
Sumber medis menyatakan setidaknya 81 orang, termasuk banyak anak-anak, tewas dalam serangan Israel hanya pada hari Senin.
Sumber Al Jazeera menyebut Hamas dan utusan AS untuk Timur Tengah, Steve Witkoff, menyepakati draf kesepakatan dalam pertemuan di Doha, Qatar. Proposal itu mencakup gencatan senjata 60 hari dan pembebasan 10 sandera hidup di Gaza dalam dua tahap.
Presiden AS Donald Trump akan menjamin syarat kesepakatan dan penarikan pasukan Israel dari Gaza. Kesepakatan juga memungkinkan bantuan kemanusiaan masuk tanpa syarat sejak hari pertama.
Namun, Witkoff membantah bahwa Hamas menerima tawarannya, menyebut apa yang dia lihat "sama sekali tidak bisa diterima." Seorang sumber dekat Witkoff juga mengatakan klaim Hamas "tidak akurat" dan proposal dari kelompok Palestina itu "mengecewakan."
Garis Merah Baru
Al Jazeera melaporkan dari Washington bahwa proposal yang ada hanyalah "kesepakatan gencatan sementara" dengan Israel. Ini akan memungkinkan separuh sandera hidup dan separuh jenazah dikembalikan. Gedung Putih berharap ini dapat membuka jalan diplomatik menuju gencatan permanen.
Sementara itu, PM Israel Benjamin Netanyahu berjanji akan membawa pulang 58 sandera Israel yang masih ada di Gaza—sekitar 20 di antaranya diperkirakan masih hidup.
"Jika tidak berhasil hari ini, kami akan capai besok. Kami tidak akan menyerah," katanya tanpa menyebut proposal tersebut.
Netanyahu lama menolak tuntutan Hamas untuk gencatan permanen dan bersikeras melanjutkan perang hingga "kemenangan total." Dia bahkan menetapkan syarat baru untuk mengakhiri perang: kembalinya sandera, pelucutan Hamas, pengasingan pemimpinnya, serta penerapan rencana Trump untuk Gaza—sebuah rencana yang dikutuk sebagai pembersihan etnis.
Di sisi lain, Hamas bersedia membebaskan semua sandera sekaligus asalkan ada gencatan permanen. Mereka juga mau menyerahkan kendali Gaza kepada pemerintahan sementara, sesuai proposal rekonstruksi senilai $53 miliar yang didukung Liga Arab. Namun, Hamas menolak meletakkan senjata atau mengasingkan pemimpinnya, menyebut tuntutan itu "garis merah" selama pendudukan Israel masih berlangsung.
Sorotan ke Doha
Di Gaza, warga Palestina berharap kesepakatan apa pun bisa menghentikan pemboman dan blokade Israel yang telah membawa seluruh populasi ke ambang kelaparan.
"Semua mata Palestina tertuju ke Doha," kata reporter Al Jazeera dari Deir el-Balah.
"Sejak perang dilanjutkan, warga diserang di rumah, sekolah, tenda pengungsian, bahkan zona aman. Mereka juga kesulitan sekadar memberi satu kali makan untuk keluarga," tambahnya.
Israel kembali melancarkan perang pada 18 Maret setelah dua minggu memberlakukan blokade total. Otoritas kesehatan Gaza menyebut setidaknya 3.822 warga tewas dalam serangan terbaru ini, dengan total korban mencapai 53.977 jiwa. Sekitar 122.966 orang terluka.
Israel melonggarkan blokade pekan lalu dengan mengizinkan 170 truk bantuan masuk, tapi jumlah ini jauh dari cukup untuk memberi makan dua juta penduduk setelah 11 minggu dikepung.