Donald Trump Konfirmasi Kunjungan ke China Usai Telepon ‘Sangat Baik’ dengan Xi Jinping

Donald Trump Ungkap Rencana Kunjungan ke China Setelah Telepon dengan Xi Jinping

Presiden AS Donald Trump menyatakan bakal berkunjung ke China setelah berbincang dengan pemimpin China, Xi Jinping, lewat telepon. Dalam "percakapan yang sangat baik" itu, Trump mengaku telah membalas undangan Xi dengan mengundangnya ke Gedung Putih—meski belum ada konfirmasi resmi dari kedua pihak.

Panggilan pada Kamis (7/3) ini menjadi pertama kalinya kedua pemimpin berkomunikasi sejak Trump memulai perang dagang dengan Beijing pada Februari lalu. Media negara China melaporkan, panggilan itu terjadi atas permintaan AS.

Di media sosial, Trump menyebut percakapan selama satu setengah jam itu fokus pada perdagangan dan "menghasilkan kesimpulan sangat positif bagi kedua negara". Saat bertemu Kanselir Jerman Friedrich Merz di Oval Office, ia mengatakan, "Dia (Xi) mengundang saya ke China, dan saya mengundangnya ke sini. Kami sama-sama menerima, jadi saya akan ke sana bersama ibu negara suatu saat nanti, dan dia diharapkan datang ke sini bersama ibu negara China."

Namun, versi China hanya menyebut undangan Xi ke Trump tanpa menyebut balasan undangan ke Gedung Putih. Menurut Xinhua, Xi meminta AS "mencabut langkah-langkah negatif terhadap China" dan menekankan bahwa China selalu menepati janji. Ia juga menyebut kedua pihak harus mematuhi konsensus yang telah dicapai, merujuk pada kesepakatan di Jenewa.

Keduanya saling tuduh melanggar kesepakatan yang bertujuan memangkas tarif dagang—yang disebut Trump sebagai "reset total". Tarif AS atas impor China sempat mencapai puncak 145%, sebelum diturunkan jadi 30% dalam gencatan senjata Mei lalu. China juga memotong tarif impor AS jadi 10% dan berjanji buka akses ekspor mineral strategis.

MEMBACA  Penawaran Apple Pencil Terbaik: Dapatkan Apple Pencil Pro dengan harga di bawah $100 di Amazon

Namun, perundingan mandek setelah kedua pihak saling tuduh melanggar kesepakatan. AS menuduh China gagal mengirim mineral kritis dan magnet rare earth untuk industri otomotif dan komputer. Kementerian Perdagangan China membantah dan menuduh AS merusak kesepakatan dengan pembatasan baru chip komputer.

Trump juga memberlakukan pembatasan ekspor software desain semikonduktor dan mencabut visa pelajar China. Meski begitu, usai telepon, ia bilang, "Tak boleh lagi ada keraguan soal kompleksitas produk rare earth." Ia menambahkan, "Pelajar China boleh datang, tak masalah—justru kehormatan. Tapi kami ingin memeriksa mereka."

Xi dilaporkan memperingatkan AS agar "hati-hati" menangani Taiwan untuk hindari konflik, beberapa hari setelah Menteri Pertahanan AS Pete Hegseth menyebut China sebagai ancaman "mendesak" bagi pulai itu. China menganggap Taiwan sebagai provinsi yang akan dipersatukan kembali, dan tak menutup opsi kekuatan militer. AS mendukung Taiwan secara militer tapi tak mengakuinya secara resmi karena kebijakan "Satu China".

Percakapan Trump-Xi ini dinanti setelah bulan-bulan keheningan. Gedung Putih sejak lama mengisyaratkan kemungkinan dialog, dan Trump akhirnya meluapkan kekecewaannya di media sosial: "Saya suka Presiden Xi, selalu dan akan selalu. Tapi dia SANGAT KERAS, DAN SULIT BEREGOSIASI!"

Trump jelas lebih suka terlibat langsung dalam negosiasi, namun itu bukan cara China bekerja. Beijing lebih memilih tim perunding dipimpin pejabat tepercaya. Setiap pertemuan atau panggilan tingkat kepala negara biasanya direncanakan matang dan diatur ketat. China juga tak ingin terlihat menuruti permintaan Washington.