Direktur Jenderal Al Jazeera Syeikh Nasser bin Faisal Al Thani menegaskan bahwa ‘melindungi jurnalis sama dengan menjaga kebenaran.’
Diterbitkan Pada 8 Okt 2025
Klik untuk membagikan di media sosial
bagikan2
Direktur Jenderal Al Jazeera Media Network menekankan pentingnya perlindungan bagi jurnalis yang bertugas di zona konflik serta mendorong peningkatan solidaritas antarlembaga media dan organisasi hak asasi manusia.
Dalam pidato pertamanya sejak diangkat sebagai direktur jenderal jaringan media yang bermarkas di Doha bulan lalu, Syeikh Nasser bin Faisal Al Thani menyatakan pada Rabu bahwa Al Jazeera telah menetapkan perlindungan jurnalis sebagai prioritas utama. Jaringan ini juga menyelenggarakan pelatihan dan pendampingan bagi para jurnalisnya untuk memastikan hal tersebut.
Rekomendasi Cerita
daftar 4 itemakhir daftar
“Pers bukanlah pihak dalam konflik, melainkan alat untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat,” ujar Syeikh Nasser dalam Konferensi Perlindungan Jurnalis di Area Bersenjata, sebuah acara dua hari yang diadakan di Doha, Qatar.
Ia menyatakan bahwa peningkatan langkah-langkah untuk melindungi jurnalis di daerah perang sangat krusial. “Tanpa itu, kejahatan perang akan tetap tak terdokumentasikan,” katanya.
Ia menyerukan implementasi regulasi hak asasi manusia serta peningkatan solidaritas antara organisasi media dan lembaga hak asasi manusia.
“Membungkam kebebasan berbicara tidak akan menghentikan kebenaran,” tegas Syeikh Nasser. “Melindungi jurnalis adalah perlindungan terhadap kebenaran itu sendiri.”
‘Jurnalis Dibunuh’
Hari pertama konferensi terdiri dari beberapa sesi yang menampilkan pembicara, termasuk jurnalis yang pernah meliput di daerah konflik seperti kepala biro Al Jazeera di Gaza, Wael Dahdouh, yang terluka dalam serangan Israel ke Gaza akhir 2023.
Dahdouh aktif mengampanyekan kesadaran akan kondisi berbahaya yang dihadapi jurnalis di Gaza sejak Israel melancarkan perang di wilayah Palestina pada 7 Oktober 2023.
Setidaknya 300 jurnalis dan pekerja media tewas di Gaza selama dua tahun perang, menurut Observatorium Shireen Abu Akleh. Angka ini mencakup 10 jurnalis dari Al Jazeera.
“Jurnalis dibunuh dan genosida sedang dilakukan terhadap mereka,” lapor Dahdouh dalam konferensi tersebut.
Pembicara lainnya mencakup pakar hukum dan perwakilan dari organisasi nirlaba yang fokus pada keselamatan jurnalis, seperti Reporters Without Borders (RSF) dan Committee to Protect Journalists (CPJ). Juru bicara International Criminal Court (ICC) juga hadir dalam salah satu sesi.
Diskusi berfokus pada serangan terhadap jurnalis serta pemenjaraan jurnalis di Gaza dan berbagai belahan dunia.
Sejumlah pembicara sepanjang hari itu menekankan pentingnya memperlakukan jurnalis sebagai warga sipil. Namun, mereka juga mengingatkan bahwa ketentuan hukum internasional yang melindungi warga sipil belum tentu berlaku sama bagi jurnalis. Mereka mendesak perlunya hukum internasional yang secara khusus menjamin keselamatan jurnalis dan organisasi media.
“Warga sipil dapat menjauh dari medan tempur, tapi jurnalis harus tetap berada di tempat. Mengasimilasikan jurnalis perang dengan warga sipil adalah tidak tepat,” jelas Omar Mekky, Koordinator Hukum Regional untuk Kawasan Timur Dekat dan Tengah dari International Committee of the Red Cross (ICRC).
Para pembicara juga menegaskan pentingnya peran negara dalam menekan pemerintah yang menargetkan jurnalis.
Konferensi ini akan berlanjut ke hari kedua pada Kamis.