Saat Israel dan Iran saling melancarkan serangan selama tujuh hari berturut-turut, kawasan ini was-was menghadapi potensi konflik yang lebih luas. Namun, pertanyaan besar tetap mengganjal soal kemampuan kedua belah pihak dalam mendanai upaya perang berkepanjangan.
Pada Jumat, Israel menewaskan sejumlah pimpinan militer dan ilmuwan nuklir Iran serta merusak beberapa fasilitas nuklirnya. Sejak itu, Israel juga merusak sebagian sektor bahan bakar fosil Iran. Sebagai balasan, Iran meluncurkan serangan rudal ke gedung pemerintahan dan wilayah metropolitan di Israel.
Hingga Kamis, serangan Israel telah menewaskan 240 orang, sementara serangan Iran menewaskan setidaknya 24 orang.
Tapi konflik ini juga menguras miliaran dolar bagi kedua negara dan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi serta memicu kekhawatiran atas perencanaan fiskal jangka panjang.
Apa biaya perang bagi Israel?
Operasi militer Israel yang berkepanjangan di Gaza sejak Oktober 2023 dan eskalasi terakhir dengan Iran telah menjerumuskan negara itu ke dalam periode konflik termahal dalam sejarahnya.
Menurut laporan Januari oleh surat kabar bisnis Israel, Calcalist, biaya kumulatif perang Gaza saja telah mencapai 250 miliar shekel ($67,5 miliar) pada akhir 2024.
Laporan 15 Juni oleh outlet berita Israel, Ynet News, mengutip mantan penasihat keuangan untuk kepala staf militer Israel, memperkirakan bahwa dua hari pertama pertempuran dengan Iran saja menghabiskan 5,5 miliar shekel (sekitar $1,45 miliar). Dengan laju ini, konflik berkepanjangan dengan Iran bisa membuat Israel melebihi biaya perang Gaza akhir 2024 dalam tujuh minggu.
Bahkan sebelum eskalasi terkini dengan Iran, Israel telah menaikkan anggaran pertahanannya secara drastis di tengah berbagai konflik regional dan perang di Gaza. Dari 60 miliar shekel ($17 miliar) pada 2023, naik menjadi 99 miliar ($28 miliar) pada 2024. Proyeksi untuk 2025 menunjukkan angka itu bisa mencapai 118 miliar shekel ($34 miliar).
Kementerian Keuangan menetapkan batas defisit sebesar 4,9 persen dari produk domestik bruto (PDB) Israel untuk tahun fiskal ini, setara dengan 105 miliar shekel ($27,6 miliar). Pengeluaran militer yang lebih tinggi akan menguji hal tersebut.
Bagaimana dampak konflik terkini pada profil utang Israel?
Meski ada peningkatan proyeksi penerimaan pajak—dari 517 miliar menjadi 539 miliar shekel ($148 miliar menjadi $154 miliar)—proyeksi pertumbuhan Israel untuk 2025 telah direvisi turun dari 4,3 persen menjadi 3,6 persen.
Menurut perusahaan survei bisnis CofaceBDI, sekitar 60.000 perusahaan Israel tutup pada 2024 akibat kekurangan tenaga kerja, gangguan logistik, dan sentimen bisnis yang lesu. Selain itu, kedatangan turis masih di bawah tingkat sebelum Oktober 2023.
Trend ini bisa memburuk jika perang penuh dengan Iran terjadi.
S&P Global Ratings mengeluarkan peringatan keras tentang kerentanan ekonomi Israel pada Selasa.
Lembaga itu menyatakan bahwa kelanjutan kampanye perang Israel, terutama jika dihadapi dengan respon strategis dan berkelanjutan dari Iran, dapat menurunkan peringkat kredit Israel dari A ke A-. Jika itu terjadi, biaya pinjaman mungkin naik dan kepercayaan investor terhadap ekonomi Israel bisa melemah.
Bagaimana dampaknya pada industri bahan bakar fosil Iran?
Belakangan ini, ekspor minyak Iran tampaknya turun drastis. Total ekspor minyak mentah dan kondensat Iran diproyeksikan mencapai 102.000 barel per hari (bph) pada pekan yang berakhir Minggu. Itu kurang dari separuh rata-rata ekspor 242.000 bph tahun ini, menurut data dari firma analitik Kpler.
Yang kritis, ekspor dari Pulau Kharg, tempat Iran mengekspor lebih dari 90 persen minyaknya, tampaknya berhenti total sejak Jumat. Tidak ada kapal tanker yang berlabuh di Pulau Kharg pada Senin, menurut data pelacakan satelit LSEG.
Pada 2025, Iran memproduksi rata-rata 3,4 juta bph minyak mentah, menurut Badan Informasi Energi AS (EIA), dengan Cina menjadi pembeli asing utama. Sebagian besar minyak Iran diproduksi untuk konsumsi domestik.
Pada Sabtu, Iran sebagian menghentikan produksi gas di ladang gas South Pars di Teluk setelah diserang rudal Israel. South Pars, yang dibagi Iran dengan Qatar, adalah ladang gas terbesar di dunia. Ladang ini menghasilkan sekitar 80 persen total produksi gas Iran.
Untuk saat ini, tingkat kerusakan di ladang South Pars belum diketahui. Selain itu, Israel menargetkan kilang Shahr Rey di luar Teheran serta depot bahan bakar di sekitar ibu kota. Dampak penuh serangan ini pada produksi masih belum jelas.
Bagaimana peran sanksi terhadap Iran?
Iran telah menghadapi sanksi ekonomi dari AS setelah Revolusi Islam dan krisis penyandraan kedutaan AS pada 1979, kemudian karena program nuklirnya.
Untuk menekan Teheran menyetujui kesepakatan soal program nuklir, pemerintahan mantan Presiden AS Barack Obama membujuk beberapa ekonomi besar dunia untuk mengurangi atau menghentikan pembelian minyak dari Iran, dengan gelombang sanksi tambahan.
Sanksi itu dilonggarkan setelah Iran menandatangani kesepakatan Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) pada 2015 dengan AS, Rusia, Cina, Prancis, Jerman, Inggris, dan Uni Eropa.
Tahun berikutnya, Iran mengekspor 2,8 juta bph produk minyak.
Tapi Presiden AS Donald Trump memberlakukan kembali sanksi pada 2018 selama masa jabatan pertamanya dan menambah lebih banyak, sekali lagi menekan sebagian besar negara lain untuk berhenti membeli minyak Iran. Hasilnya, menurut EIA, Teheran hanya memperoleh $50 miliar pendapatan ekspor minyak pada 2022 dan 2023, setara dengan sekitar 200.000 bph ekspor minyak mentah, kurang dari 10 persen tingkat 2016.
Intinya, sanksi telah menggerogoti pendapatan devisa Iran.
Iran bertahan dari kehancuran ekonomi sebagian berkat Cina, pembeli utama minyaknya dan salah satu dari sedikit negara yang masih berdagang dengan Teheran.
Meski begitu, hilangnya pendapatan karena sanksi telah merampas kesempatan negara itu untuk pengembangan ekonomi jangka panjang dan mempengaruhi kemampuan Teheran memperbaiki infrastruktur yang rusak.
Presiden Masoud Pezeshkian berulang kali menyoroti keparahan situasi ekonomi yang dihadapi negara itu, menyatakan bahwa situasi Teheran lebih menantang dibandingkan selama Perang Iran-Irak pada 1980-an.
Pada Maret, ia secara terbuka mengkritik putaran terbaru sanksi AS yang menargetkan kapal tanker pengangkut minyak Iran.
Apa tantangan lain Iran?
Iran juga menghadapi sejumlah keterbatasan lain—kekurangan energi dan air, mata uang yang runtuh, dan kemunduran militer di antara sekutu regionalnya—semua diperburuk oleh sanksi.
Kurangnya investasi, penurunan produksi gas alam, dan irigasi yang tidak efisien semua menyebabkan pemadaman listrik dan kekurangan air.
Sementara itu, rial, mata uang Iran, telah kehilangan lebih dari 90 persen nilainya terhadap dolar sejak sanksi diberlakukan kembali pada 2018, menurut situs pertukaran mata uang asing.
Dan sementara tingkat inflasi resmi berkisar di sekitar 40 persen, beberapa ahli Iran mengatakan angka sebenarnya melampaui 50 persen. “Angka pasti sulit didapat,” kata Hamzeh Al Gaaod, analis ekonomi di TS Lombard, firma penelitian politik.
“Tapi yang bisa kami katakan adalah bahwa bertahun-tahun sanksi memicu tekanan inflasi, termasuk melalui devaluasi rial. Pada gilirannya, itu membuat impor barang dari luar negeri lebih mahal,” kata Al Gaaod kepada Al Jazeera.
Pada Januari, agensi berita Tasnim mengutip kepala Institut Kesejahteraan Buruh dan Sosial Iran, Ebrahim Sadeghifar, yang mengatakan 22 hingga 27 persen rakyat Iran kini berada di bawah garis kemiskinan.
Pengangguran berada di tingkat 9,2 persen. Namun, Majelis Tertinggi Perwakilan Pekerja Iran, yang mewakili kepentingan buruh, memperkirakan angka sebenarnya orang tanpa akses ke pekerjaan yang layak jauh lebih tinggi.
Apa yang bisa dikeluarkan Iran?
Menurut Al Gaaod, Teheran memiliki “anggaran militer yang relatif kecil”. Ia memperkirakan 3 hingga 5 persen PDB Iran dialokasikan untuk pertahanan, setara dengan sekitar $12 miliar.
Teheran memang memiliki $33 miliar cadangan devisa yang secara teoritis bisa digunakan. Tapi Al Gaaod mengatakan: “Di sinilah Iran berada dalam posisi sulit. Menggunakan cadangan untuk konflik militer jangka pendek akan melumpuhkan mereka dalam jangka panjang.”
“Kami melihat sentimen ‘bersatu di bawah bendera’ belakangan ini. Tapi jika Iran mengalami lebih banyak serangan dan evakuasi warga, itu bisa dengan cepat berbalik,” katanya.