Batu Runtuh dari Langit: Malam Kelam Ketika Sebuah Desa di Afghanistan Hancur | Gempa Bumi

Tak jauh dari tumpukan batu yang dulu merupakan rumah-rumah pertama saat memasuki desa kecil mereka, tiga lelaki duduk di atas dipan anyaman tradisional.

Salah satunya adalah sepupu Hayat, Mehboob.

“Saat gempa terjadi, anak laki-lakiku yang berusia 13 tahun, Nasib Ullah, sedang tidur di sebelahku. Aku terbangun, keluar dari tempat tidur, dan mulai mencari senter. Lalu, tiba-tiba, seluruh ruangan bergerak akibat batu-batu yang runtuh. Saat aku berusaha meraih anakku, tembok dan lantai longsor ke bawah, dan aku tidak bisa menangkapnya,” jelas pria berusia 36 tahun itu.

“[Itu] lebih buruk dari hari kiamat.”

“Rumah-rumah roboh, bongkahan batu dari gunung berjatuhan; kita tidak bisa melihat apa-apa, kami tidak bisa melihat satu sama lain.”

Semua orang terluka, jelasnya. Ada yang tulang rusuk dan kakinya patah.

“Dalam gelap, kami membawa anak-anak kami yang masih hidup ke lahan pertanian di bawah, yang lebih aman dari batu-batu besar itu.”

Pakaian anak-anak yang tertinggal di tanah pascagempa [Sorin Furcoi/Al Jazeera]

Malam itu, ia menghitung lebih dari 250 getaran, katanya: gempa susulan yang terus mengguncang lembah bahkan berminggu-minggu setelah gempa utama.

Saat cahaya matahari tiba, ia mencoba menggali puing-puing untuk menemukan orang-orang yang dicintainya. “Tetapi tubuhku seolah tidak mau bekerja,” ujarnya.

“Aku bisa melihat kaki anakku, tetapi bagian tubuhnya yang lain telah hilang tertimbun reruntuhan.”

Putrinya yang berusia 10 tahun, Aisha, juga tewas.

“Itu adalah momen terburuk dalam hidupku,” katanya.

Perlu waktu dua hari bagi penduduk desa dan relawan untuk memulihkan jenazah.

Ketika saudara Hayat, Rahmat Gul, menerima pesan dari kakaknya yang memberitahu bahwa seluruh desa telah musnah, ia segera bergegas ke sana dari rumahnya di provinsi Parwan, yang jaraknya sekitar 300 km.

MEMBACA  Pria yang terinfeksi flu burung H5N2 meninggal di Meksiko, kata WHO | Berita Organisasi Kesehatan Dunia

Ketika ia akhirnya tiba di Aurak Dandila, para penduduk desa yang selamat memintanya untuk membungkus anak lelaki Mehboob yang telah meninggal dengan selimut.

“Mehboob memintaku untuk menunjukkan wajah anaknya, tapi aku tidak sanggup melakukannya,” jelas Rahmat Gul sementara Mehboob, yang duduk di sampingnya, memandang ke arah lahan pertanian di lembah bawah.

Hayat Khan kehilangan empat anggota keluarganya selama gempa [Sorin Furcoi/Al Jazeera]

Di dekatnya, Hayat berdiri dan mulai berjalan mondar-mandir.

“Tuhan telah mengambil anak-anak lelakiku dariku, dan sekarang aku merasa seakan aku juga telah meninggalkan dunia ini,” ucapnya.

Di Aurak Dandila, sebuah ladang jagung kecil telah menjadi kuburan. “Di sinilah kami menguburkan orang-orang yang kami kasihi,” kata Hayat. Makam-makam itu ditandai dengan batu.

Ia teringat bagaimana ia membujuk Abdul Haq untuk tetap tinggal di desa. “Keesokan harinya, segalanya musnah, dan ia kehilangan nyawanya.”

Kini, Hayat percaya, “tidak ada lagi yang tersisa untuk ditinggali di sini”.

“Bagaimana aku bisa terus tinggal di sini?” tanyanya, menunjuk puing-puing yang dulunya adalah rumahnya.

“Batu-batu berjatuhan dari atas; siapa yang bisa tinggal di desa ini?”

“Kami akan menetap di tempat lain, dan kami akan mencari belas kasihan Tuhan. Jika Ia tidak mengasihani kami, maka kami pun akan mati.”