Berbicara dengan Wartawan di Halaman Gedung Putih, Presiden Donald Trump terlihat bermain-main ketika ditanya apakah dia akan membawa Amerika Serikat ke dalam perang Israel melawan Iran.
"Mungkin aku lakukan. Mungkin tidak," katanya pada Rabu.
Pejabat AS dan sekutu presiden menekankan bahwa keputusan untuk terlibat dalam perang—atau tidak—sepenuhnya ada di tangan Trump, seraya menegaskan bahwa mereka percaya pada nalurinya.
"Dia satu-satunya tangan penuntun tentang apa yang akan terjadi dari titik ini ke depan," ujar juru bicara Departemen Luar Negeri Tammy Bruce kepada wartawan pada Selasa.
Namun, para aktivis anti-perang berpendapat bahwa hal ini tidak boleh semata-mata bergantung pada Trump, dan Kongres harus menjadi penentu akhir soal perang dan damai, sesuai Konstitusi AS.
Karena Trump semakin sering mengisyaratkan kemungkinan keterlibatan AS dalam konflik, beberapa anggota parlemen berusaha menegaskan kembali peran Kongres di bawah Undang-Undang Kewenangan Perang.
Tapi apa sebenarnya hukum yang mengatur deklarasi perang? Bisakah Trump melibatkan AS dalam perang tanpa persetujuan Kongres?
Inilah yang perlu Anda ketahui tentang hukum yang mengatur keputusan perang di AS.
—
Apa yang Dikatakan Konstitusi AS?
Pasal 1 Konstitusi AS, yang mendirikan cabang legislatif pemerintah dan merinci tugasnya, menyatakan bahwa Kongres memiliki kewenangan untuk "mendeklarasikan perang."
Beberapa ahli menafsirkan ketentuan ini sebagai tanda bahwa otoritas atas intervensi militer AS ada di tangan anggota parlemen, bukan presiden.
—
Kapan Terakhir Kali AS Secara Resmi Mendeklarasikan Perang?
Tahun 1942, saat Perang Dunia II. Sejak itu, AS terlibat perang di Korea, Vietnam, Teluk, Afghanistan, dan Irak, serta melakukan serangan dan intervensi di banyak negara—termasuk Serbia, Libya, Somalia, dan Yaman.
—
Apa Kewenangan Presiden dalam Hal Perang?
Menurut Pasal II Konstitusi, presiden ditetapkan sebagai "panglima tertinggi" angkatan bersenjata.
Presiden berhak memerintahkan militer untuk merespons serangan atau ancaman. Namun di luar itu, kekuasaan mereka dibatasi Kongres. Pasal II memungkinkan presiden mengarahkan operasi militer setelah Kongres menyetujui perang.
Meski begitu, berbagai presiden telah menggunakan kemampuan ini untuk melancarkan serangan yang diklaim sebagai tindakan defensif atau respons terhadap ancaman.
—
Bagaimana AS Mengirim Pasukan ke Irak dan Tempat Lain Tanpa Deklarasi Perang Resmi?
Tanpa deklarasi perang, Kongres dapat memberi presiden wewenang menggunakan militer untuk tujuan tertentu melalui legislasi bernama Authorization for Use of Military Force (AUMF).
Misalnya, setelah serangan 9/11 tahun 2001, Kongres mengeluarkan AUMF yang memberi Presiden George W. Bush kewenangan luas untuk memulai "perang melawan teror." Tahun 2002, AUMF lain disahkan untuk melawan pemerintahan Saddam Hussein di Irak—yang menjadi dasar invasi 2003.
Dua otorisasi ini masih berlaku dan digunakan presiden untuk melancarkan serangan tanpa izin Kongres. Pembunuhan Jenderal Iran Qassem Soleimani tahun 2020 di Baghdad dilakukan Trump berdasarkan AUMF 2003.
Di masa jabatan pertama Trump, ada kekhawatiran dia akan menggunakan AUMF 2001 untuk menyerang Iran dengan dalih tidak berdasar bahwa Teheran mendukung Al-Qaeda.
—
Kapan Undang-Undang Kewenangan Perang Disahkan?
Meski Konstitusi sudah jelas, presiden sering menemukan cara untuk mengabaikan Kongres dalam urusan perang. Maka pada 1973, setelah puluhan tahun intervensi AS di Vietnam dan Asia, parlemen mengesahkan War Powers Resolution untuk menegaskan kembali otoritas mereka.
UU ini membatasi kewenangan presiden—setidaknya itu tujuannya.
UU ini lahir setelah Pemboman Rahasia Kamboja oleh Presiden Richard Nixon, yang menewaskan puluhan bahkan ratusan ribu warga sipil dan memicu protes besar di AS.
—
Apa Isi Penting Undang-Undang Kewenangan Perang?
UU federal ini dirancang untuk membatasi kekuasaan presiden dalam mengikat AS ke konflik bersenjata.
Ditetapkan meski diveto Nixon, resolusi ini mewajibkan presiden memberi tahu Kongres dalam 48 jam setelah aksi militer—jika tidak ada deklarasi perang—serta membatasi masa penempatan pasukan ke 60 atau 90 hari kecuali ada perpanjangan otorisasi.
Sebelum mengirim pasukan, presiden harus berkonsultasi dengan Kongres "dalam setiap kesempatan yang mungkin."
—
Mengapa UU Ini Relevan Sekarang?
Dengan meningkatnya kemungkinan intervensi AS di Iran, anggota parlemen mengingat UU berusia lima dekade ini dan mengajukan versi mereka sendiri.
Senator Demokrat Tim Kaine mengajukan RUU yang mewajibkan Trump—seorang Republikan—meminta otorisasi dari Kongres sebelum menyerang Iran. Di DPR, RUU serupa diajukan oleh Thomas Massie (Republikan) dan Ro Khanna (Demokrat).
Sementara itu, No War Against Iran Act dari Senator Bernie Sanders bertujuan "melarang penggunaan dana untuk aksi militer terhadap Iran."
Meski beberapa jajak pendapat menunjukkan pendukung Trump menentang perang dengan Iran, RUU ini kecil kemungkinannya lolos di legislatif yang dikuasai Partai Republik.
—
Mengapa Perlu UU Baru Kalau Sudah Ada di Konstitusi?
Meski Konstitusi memisahkan kewenangan perang, eksekutif dan legislatif selalu berebut peran sepanjang sejarah AS.
Kasus paling terkenal—dan terakhir yang sampai ke Mahkamah Agung—terjadi tahun 1861 di awal Perang Saudara AS, ketika Presiden Abraham Lincoln memblokade pelabuhan Selatan sebelum Kongres menyatakan perang. Pengadilan akhirnya memutuskan tindakan presiden konstitusional karena eksekutif "bisa menangkis serangan mendadak."
Sejarah menunjukkan, deklarasi perang resmi dari Kongres tetap langka. Hanya ada 11.
Alih-alih, Kongres secara tradisional telah mengesahkan berbagai resolusi militer.
Apakah Undang-Undang Kekuasaan Perang Memiliki Dampak Nyata?
Sejak disahkan pada 1973, undang-undang ini dianggap oleh sebagian kritikus sangat tidak efektif—lebih sebagai alat politik bagi anggota dewan untuk menyuarakan ketidaksetujuan daripada sebagai pengontrol kekuasaan yang nyata. (Pada 1980-an, Senator Joe Biden memimpin subkomite yang menyimpulkan bahwa undang-undang ini gagal mencapai tujuannya.)
Resolusi Kongres untuk menghentikan keterlibatan militer yang tidak disahkan oleh mereka sendiri bisa diveto oleh presiden. Untuk membatalkan veto, diperlukan dukungan dua pertiga suara di DPR dan Senat.
Namun, beberapa berargumen bahwa undang-undang ini penting dalam menegaskan hak-hak Kongres dan menciptakan kerangka pelaporan cepat dari presiden. Lebih dari 100 laporan yang dikirim ke Kongres sejak 1973 memberikan gambaran transparansi.
Bagaimana Presiden Melihat Undang-Undang Ini?
Meskipun Nixon paling vokal menentangnya, ia bukan satu-satunya presiden yang kritis. Presiden modern kerap menghindari aturan ini dengan argumen hukum kreatif.
Kekuasaan eksekutif terus meluas, terutama setelah serangan 11 September 2001. 2001 AUMF dan 2002 AUMF Irak digunakan untuk membenarkan serangan terhadap "kelompok teroris" di setidaknya 19 negara, menurut Friends Committee on National Legislation.
"Pemerintah telah memperluas penggunaan wewenang ini hingga mencakup kelompok seperti ISIS yang bahkan belum ada saat 9/11," tulis Heather Brandon-Smith, direktur kebijakan luar negeri organisasi tersebut.
Meski ada desakan untuk merevisi atau mencabut AUMF, pemerintahan berturut-turut tidak berminat. Upaya Kongres baru mulai menggerogoti undang-undang ini. Pada 2023, Senat memilih mencabut 2001 AUMF—meski bersifat simbolis. DPR juga memutuskan hal serupa untuk 2002 AUMF pada 2021. Namun, kedua hukum tetap berlaku.
Bisakah Undang-Undang Kekuasaan Perang Menghentikan Trump Berperang dengan Iran?
Mungkin tidak.
Di masa jabatan pertamanya, Kongres berusaha membatasi kewenangan perang presiden untuk pertama kalinya sejak Perang Vietnam. Pada 2019, mereka menyetujui RUU untuk mengakhiri dukungan AS bagi perang Saudi-Uni Emirat Arab di Yaman—langsung diveto Trump.
Setahun kemudian, setelah serangan drone yang menewaskan Soleimani, Kongres meloloskan aturan pembatasan wewenang perang terhadap Iran. Lagi-lagi, Trump memvetonya, dan suara Republik tidak cukup untuk membatalkan veto.
Kini, dengan mayoritas di Kongres beralih ke Republik, resolusi kekuasaan perang terbaru menghadapi tantangan lebih berat.