Untuk satu dari lima orang Amerika yang masih tinggal di daerah pedesaan, kerja jarak jauh bukanlah kemewahan, tapi kebutuhan. Semakin banyak pekerja di sana akan menghadapi risiko kecuali kita memiliki kemauan bersama untuk memberi mereka kesempatan kerja jarak jauh.
Berita baiknya: Mayoritas penduduk pedesaan siap memanfaatkan peluang ini—asalkan kita menemukan cara inovatif untuk memberi mereka kesempatan.
Inilah hasil penelitian terbaru yang dilakukan oleh Generation, organisasi nirlaba yang saya pimpin. Kami tahu bahwa pekerja paruh baya dan lanjut usia—meskipun jumlahnya semakin banyak—lebih rentan menganggur dalam jangka panjang. Kami juga tahu bahwa kemiskinan kronis lebih sering terjadi di daerah pedesaan dibanding perkotaan.
Untuk memahami kelompok yang kesulitan ini, kami bekerja sama dengan YouGov untuk mewawancarai lebih dari 500 orang berusia 45 tahun ke atas di 17 negara bagian di wilayah Appalachia dan Delta. Hampir setengahnya sedang menganggur.
Kami menemukan apa yang sudah diduga: Banyak dari mereka kesulitan. Perbaikan rumah, darurat kesehatan, masalah mobil—biaya tak terduga seperti ini bisa menjadi bencana. 61% responden berusia 45+ mengatakan mereka tidak bisa menanggung pengeluaran tak terduga sebesar $1.000. Bahkan, 37% tidak memiliki cukup uang untuk kebutuhan sehari-hari, dan 32% lainnya pas-pasan. Hanya satu dari empat yang bisa memenuhi kebutuhan sekaligus menabung. Menganggur adalah masalah besar—45% responden menganggur lebih dari dua tahun.
Tidak mengejutkan, lapangan kerja lokal tidak menyediakan cukup pekerjaan. Yang mengejutkan adalah bagaimana ketidakpastian ekonomi memengaruhi persepsi mereka tentang pekerjaan bagus. Saat diminta mendefinisikan “pekerjaan berkualitas tinggi,” jawaban mereka tidak terkait pendidikan atau keahlian teknis. Mereka lebih fokus pada tiga hal: gaji kompetitif, jam kerja tetap penuh, dan pekerjaan stabil. Hanya 6% yang mengatakan daerah mereka punya banyak pekerjaan seperti itu, sementara 35% menyatakan “sedikit atau tidak ada.”
Ketika kami mencari solusi, hasilnya menarik. Salah satu opsi—meminta pekerja pedesaan pindah ke kota untuk dapat pekerjaan bagus—ternyata tidak realistis. Hanya 24% yang menganggap relokasi “agak mungkin,” dan 8% yang “sangat mungkin” pindah jika ada kesempatan. Hal ini mencerminkan ketidakpastian soal biaya pindah dan kekhawatiran meninggalkan keluarga dan komunitas. Ini sejalan dengan tren penurunan mobilitas geografis di AS yang mencapai “titik terendah sejarah.”
Jika investasi langsung ke pedesaan tidak meningkat, apa solusinya? Hanya satu: memperluas kesempatan kerja jarak jauh. Salah satu faktor kunci yang kami teliti adalah kemauan tenaga kerja lokal mencoba hal baru. Hasil survei mengejutkan.
Meskipun 71% responden belum pernah mengikuti pelatihan kerja dalam tiga tahun terakhir, 50% tertarik belajar keterampilan baru untuk karier. Bahkan, 75% bersedia mengambil kursus agar lebih kompetitif untuk kerja jarak jauh.
Memanfaatkan peluang ini tidak mudah. Perusahaan harus memastikan program pelatihan online mereka efektif, terjangkau, dan relevan dengan pekerjaan—semua hal yang dianggap penting oleh responden. Dana publik untuk pelatihan juga harus menangani masalah ini.
Kabar baiknya, ini adalah masalah sosial yang tidak memerlukan kebijakan baru yang rumit. Survei kami membuktikan, pekerja paruh baya dan lanjut usia di pedesaan siap belajar jika ada kesempatan.
Sayangnya, penolakan terhadap kerja jarak jauh sedang meningkat. Kita perlu memperluas debat tentang pro-kontra kerja jarak jauh, tidak hanya fokus pada budaya perusahaan, produktivitas, dan kesejahteraan karyawan. Memang, menyeimbangkan ini rumit, tapi ini lebih menjadi masalah perkotaan.
Bagi warga pedesaan, memperluas kerja jarak jauh adalah soal mendasar—akses ke pasar kerja yang mungkin akan meninggalkan mereka semakin tertinggal.
Pendapat di artikel komentar Fortune.com adalah pandangan penulis dan belum tentu mencerminkan pendapat Fortune.