Arkeem Sturgis umurnya baru 33 tahun, tapi cara bicaranya bijak seperti orang yang udah hidup banyak pengalaman. Pas lagi diwawancara, sambil ganti popok anak perempuannya yang umur setahun, dia ngehentiin pertanyaan reporter Fortune ini buat kasih koreksi yang lembut:
“Bernapas,” katanya. “Pelankan dikit. Lo bakal bisa nyelesein semua yang perlu diselesain. Lo gak perlu buru-buru.”
Naluri itu—buat nenangin, ngajar, naikin orang lain bersamanya—udah jadi ciri khas Sturgis. Bapak enam anak dan pendiri bisnis handyman dan HVAC di Jacksonville, Florida ini, udah lima tahun terakhir bangkit dari keadaan homeless sampai akhirnya bisa dapetin penghasilan $100,000 per tahun buat pertama kalinya. Dan dia ngelakuin itu, katanya, lewat iman, bimbingan mentor, dan keyakinan kalo sukses di bidang trades masih bisa nawarin kebebasan yang dicari-cari sama generasi milenial dan Gen Z di Amerika di tempat lain. Dia juga harus lawan halangan budaya yang menurutnya gak perlu buat orang sepertinya bisa sukses.
“Kita sebagai negara kurang berhasil dalam mempersiapkan anak-anak kita untuk hidup,” katanya. “Dulu kita kan ada pelajaran [kayu] di sekolah.” Menurut dia, dia harus berjuang keras buat sampe di titik ini di karirnya karena kurangnya pelatihan praktis di pendidikan umum.
“Kita berharap anak-anak di umur 18 tahun lulus SMA dan bikin keputusan permanen buat hidup mereka dengan kuliah,” katanya. “Anak 18 tahun belum punya kapasitas mental buat bikin keputusan permanen buat sisa hidup mereka.”
Perjuangan Sturgis bukan cuma secara emosional aja. Di tahun 2020, kayak banyak orang Amerika pas pandemi, dia di-PHK dari kerjaannya sebagai pembuat TMJ di Zimmer-Biomet dan keadaan ekonominya hancur. Dia jadi homeless, ngonteng-ngontengin istri dan lima anaknya antara hotel, Airbnbs, dan rumah temen.
“Itu tahun yang sangat, sangat, sangat berat… menjaga keluarga saya tetap bersatu dan tersenyum sepanjang proses itu itu berat banget,” kata Sturgis.
Dia dulu gak pernah kepikiran buat kerja di bidang trades, tapi dia emang selalu jago pake tangannya. Dia nemuin the Home Builders Institute (HBI), yang nyediain program khusus buat anak-anak veteran (bapaknya dulu di Angkatan Laut) dan dia daftar di program kayu mereka dan kemudian di HVAC. Mulainya dari hal kecil tapi akhirnya bawa dia ke mentorship dan sekarang punya bisnis di mana Sturgis jadi bos buat dirinya sendiri dan lagi menuju penghasilan $100,000 tahun ini.
Dari keadaan homeless sampai jadi pengusaha
Sturgis mulai dari hal kecil di HBI, ngerakit furniture dan betulin keran bocor, sambil kerja shift malam 10 jam di sebuah gudang. “Suatu saat saya kerja 10 jam semalaman, pulang jam tujuh pagi, clock in di bisnis saya jam delapan pagi, dan kerja lagi delapan sampai 10 jam,” katanya. “Terus tidur dan ngulang lagi.”
Dalam beberapa bulan, dia dapet kerjaan tetap lewat program Home Depot’s Path to Pro, program keterampilan trades dan pencocokan kerja, dan pake keahlian yang dia pelajari di HBI buat melebar ke luar dari cuma perbaikan handyman.
Titik balik yang beneran, tapi, dateng di tahun 2024, pas dia balik buat nyelesein kursus HVAC HBI dan ketemu sama instrukturnya, Steven “Papa Steve” Everitt. “Dia beneran beliin saya truk,” kenang Sturgis. “Truknya $800… dan dia lebih peduli buat saya sukses daripada duit yang dia bayar buat truk itu.”
Mentorship itu, katanya, ubah hidupnya. “Dia bantu saya ubah semuanya mulai dari penampilan saya—saya potong rambut, mulai berpakaian lebih rapi. Dia keluarin sesuatu dari dalam diri saya yang saya sendiri gak lihat.”
Tahun itu, Sturgis menang HBI’s Chairman’s Award dan perjalanan ke Las Vegas gratis. Bisnisnya sekarang lagi menuju tahun pertama penghasilan $100,000, sebuah pencapaian yang dulu rasanya gak mungkin.
Sturgis bilang ke Fortune kalo dia kesel sama cara sistem gak mempersiapkan orang buat realitas ekonomi, dan gak mengiklankan peluang yang ada buat pekerja kayak dia. “Gak semua orang bakal jadi sejarawan, gak semua orang bakal jadi dokter, gak semua orang bakal jadi pengacara,” katanya. Kerja di bidang trades gak seharusnya ada stigma, katanya, soalnya bidang itu penuh sama orang-orang yang IQ-nya tinggi, cuma mereka pake bagian otak yang beda dari pekerjaan kerah putih. “Beberapa orang,” tambahnya, “pengen kerja pake tangan mereka.”
Sturgis bilang dia percaya AS bisa bantu atasi kekurangan tenaga kerja dengan lebih banyak dana vokasi dan insentif yang ditargetin. Dia juga bilang dia pengen liat lebih banyak hibah dan pinjaman yang bisa dihapus buat pemilik bisnis kecil di bidang trades, pendanaan yang bisa bantu mereka berkembang, latih magang, dan isi ratusan ribu lowongan kerja yang kosong tiap tahunnya.
“Gitu cara kita isi kekurangannya,” katanya. “Dengan kasih orang-orang alat buat bangun sesuatu yang jadi milik mereka sendiri.”
Tapi banyak anak muda, menurut dia, terjebak di keyakinan kalo gelar empat tahun adalah satu-satunya jalan ke sukses: ngambil utang yang banyak buat ijazah yang akhirnya gak dipeduliin pasar kerja yang lesu. Yang lain, katanya, kejar skema “cepat kaya”: versi yang lebih lembut lewat taruhan olahraga atau tren startup, dan yang lebih gelap lewat pasar gelap.
“Generasi kita 100% fokus ke membangun kekayaan,” kata Sturgis. “Generasi kita suka barang-barang bagus.” Dia berargumen kalo lo tetep bisa punya hal-hal ini lewat hidup di bidang trades.
Bidang trades—HVAC, pipa, listrik—ada “di bawah sekali” dalam cara Gen Z mikirin kekayaan, kata Sturgis. Tapi, AS hadapi kekurangan tenaga kerja yang makin dalam di pekerjaan terampil, diperparah sama usaha deportasi yang agresif dan lonjakan permintaan dari perkembangan AI.
“Robot gak bisa bangun rumah,” kata Sturgis, sejalan dengan komentar dari beberapa pemimpin puncak di Fortune 500. Contohnya, CEO Nvidia Jensen Huang juga bilang dia percaya kita akan butuh ratusan ribu tukang listrik untuk mengurus ledakan pusat data yang sangat cepat. Sementara itu, CEO Ford Jim Farley baru-baru ini cerita bahwa anak laki-lakinya bekerja sebagai montir musim panas lalu dan secara terbuka bertanya apa dia perlu kuliah.
Sturgis bilang dia percaya kalau sekolah bisa bantu Gen Z lihat pekerjaan tukang sebagai jalan menuju kemandirian—bukan pilihan terakhir untuk orang tua—maka lebih banyak anak muda yang akan mengejarnya. Kalau kamu jelaskan ke generasi muda bahwa mereka bisa dapat gaji hampir seratus ribu dolar dalam hanya beberapa tahun kerja di bidang ini, itu akan "memancing minat mereka," jelasnya.
"Dan mereka biasanya bilang, ‘Tunggu dulu. Jadi maksud kamu, saya bisa kerja praktik dan dapat uang sebanyak itu?’ Ya, bisa saja," kata Sturgis.
"Sudah banyak coba-coba, banyak hari yang panjang, banyak darah, keringat, dan air mata," ujarnya. "Tapi kalau kamu bisa bertahan melewati perasaan susah dan masa-masa sulit, semuanya akan jadi lebih mudah. Kamu lihat ke belakang dan sadar sejauh apa kamu sudah berkembang."