Saat ini, kita hidup di masa dimana banyak orang cemas sama AI. Menurut survei Pew baru-baru ini, cuma 10% orang Amerika yang lebih semangat daripada khawatir dengan penggunaan AI dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, 50% lebih banyak yang khawatir, naik dari 38% di tahun 2022.
Memang ada alasan bagus untuk khawatir soal AI—teknologi ini mengubah setiap bagian hidup kita. Yang paling utama, sering banget ada berita soal PHK karena AI.
Walau teknologi ini sangat baru, kualitas manusia yang kita perlukan untuk menghadapinya sebenarnya sudah ada sejak dulu. Kita bisa belajar dari masa-masa penuh perubahan lainnya. Misalnya, psikolog Salvatore Maddi dan timnya meneliti karyawan Illinois Bell Telephone pada tahun 1970-an dan 1980-an. Saat itu, industri telepon sedang berubah banyak. Perusahaan itu memangkas 50% karyawannya dalam satu tahun, yang dianggap sebagai perubahan perusahaan terbesar dalam sejarah.
Dua per tiga dari karyawan yang diteliti mengalami masalah. Ada yang kena serangan jantung, depresi, atau gangguan kecemasan. Yang lain jadi penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan, bercerai, atau bertindak kekerasan.
Tapi, sepertiga lainnya justru jadi kuat. Mereka tidak hanya selamat, tapi juga sukses meski banyak stres. Jika mereka tetap di perusahaan, mereka naik ke posisi puncak. Kalau mereka pergi, mereka mendirikan perusahaan sendiri atau dapat pekerjaan penting di perusahaan lain.
Para peneliti menemukan bahwa mereka yang berhasil melalui transisi ini memiliki "sikap 3 C". Pertama, Komitmen: memutuskan untuk terlibat dan mencoba menjadi bagian dari solusi. Kedua, Kontrol: berusaha untuk tetap punya tekad, bukan cuma menyerah. Ketiga, Challenge (Tantangan): mencari cara untuk menggunakan krisis ini untuk memperkuat diri, membangun ketahanan, dan tumbuh.
Hal terpenting tentang ketahanan adalah, meskipun kita selalu membutuhkannya, kapasitas kita untuk memilikinya juga tidak terbatas. Itu bukan sumber daya yang terbatas, atau sifat tetap yang kita bawa sejak lahir.
Pada tahun 1989, seorang peneliti bernama Emmy Werner menerbitkan studi yang mengikuti anak-anak berisiko tinggi selama 32 tahun. Dia menemukan bahwa anak-anak yang tangguh, bahkan sejak kecil, cenderung menghadapi dunia dengan caranya sendiri dan punya "lokus kendali internal". Yang menarik, ketahanan itu bisa berubah-ubah. Beberapa orang yang tidak tangguh waktu kecil, ternyata bisa belajar cara untuk menjadi tangguh. Mereka bisa mengatasi kesulitan di kemudian hari dan akhirnya sukses.
Jadi, kekuatan untuk membangun ketahanan ada di dalam diri kita. Sama seperti kita bisa belajar keterampilan lain dengan latihan, kita bisa mengajari diri sendiri untuk jadi lebih tahan banting.
Dan ketahanan adalah kualitas manusia yang paling kita butuhkan untuk menghadapi zaman AI. Kita tidak bisa mengendalikan apa yang terjadi di dunia, tetapi kita bisa membangun sumber daya yang membantu kita merespons.
Kita bisa menggunakan "C" yang terakhir, yaitu Tantangan, dengan mendorong diri sendiri untuk mengakui bahwa kita semua masih dalam proses belajar dan berkembang. Seperti kata Yuval Noah Harari, penulis Sapiens dan Nexus: "Kita tidak tahu keterampilan apa yang dibutuhkan orang dalam 10 tahun ke depan, kecuali satu. Kita tahu mereka akan membutuhkan keterampilan untuk menyesuaikan diri dan menciptakan ulang diri mereka sendiri… Itu adalah belajar cara untuk terus belajar sepanjang hidup."
Pendapat yang diungkapkan dalam tulisan-tulisan di Fortune.com adalah pandangan penulisnya sendiri dan belum tentu mencerminkan pendapat dan keyakinan Fortune.