Di Stanford, California, ada mahasiswa yg bilang ke temen sekamarnya dia bisa dapat kencan Jumat malem karena pake kata-kata rayuan seorang milyarder.
Di kereta bawah tanah New York, seorang lelaki teriakkan kata-kata itu ke orang asing. Seorang perempuan rencanakan untuk berdiri di Washington Square Park bawa papan kardus dengan tulisan itu.
Ini cuma beberapa kejadian dari hiruk-pikuk di New York City soal nasehat kencan Bill Ackman yg cuma empat kata: “Boleh aku berkenalan?”
Dia posting kalimat itu sebagai saran tulus untuk lelaki muda yg, menurut dia, sekarang hindari interaksi spontan karena aplikasi kencan mendominasi hidup sosial mereka.
“Budaya online hancurkan kemampuan untuk kenal orang asing,” tulisnya di X, dalam post yg sudah dilihat lebih dari 26 juta kali. Ackman, yg punya hedge-fund dan sering posting di X, klaim kalimat itu “hampir tidak pernah” ditolak waktu dia muda, dan itu paling berhasil kalau dilakukan sambil bergerak.
“Kamu bisa coba,” tambahnya. Dan internet lakukan yg terbaik: jadi obrolan tak berujung. Beberapa orang bilang kalimat itu “keren” dan “alpha,” sementara yg lain—termasuk akun X Ramp Capital—olok-olok Formalitasnya dan buat parodi. Beberapa kritik bilang percaya diri Ackman datang dari keuntungan—kekayaan dan tinggi badannya (193 cm)—yg tidak dimiliki kebanyakan lelaki muda. Tapi yg lain, seperti ekonom Tyler Cowen, setuju dengan Ackman bahwa bahkan kalau kalimatnya gagal, itu bantu Gen Z pria “berpikir untuk kenal perempuan sama sekali.”
Dibalik meme-masenya, kalimat itu jelas sentuh saraf budaya. Gen Z, sebagai generasi digital, tumbuh di lingkungan dimana kebanyakan interaksi romantis terjadi lewat aplikasi, DM, atau ruang yg dikurasi algoritma dimana resiko terbatas dan penolakan diredam. Tidak ada panik yg harus dihadapi kalau seseorang unmatch kamu; tidak ada malu yg berkepanjangan. Ekspresi kecewa orang asing tidak langsung terlihat. Penolakan langsung terasa lebih sakit karena jarang terjadi.
“Sekarang orang menjalani hidup dengan cara yg sangat tertutup,” kata Jess Carbino, mantan sosiolog untuk Tinder dan Bumble. “Mendekati seseorang langsung terasa tidak biasa karena tidak sesuai dengan cara kebanyakan orang muda sebenarnya bertemu.”
Jadi ketika orang muda betul-betul pertimbangkan untuk mendekati seseorang langsung, rasanya tekanannya jadi sangat tinggi. Tidak cuma penolakan terjadi langsung, tapi alasannya tetap tidak jelas: Apakah waktunya salah? Apakah pendekatannya tidak disukai? Apakah orangnya sudah punya pasangan, terganggu, atau tidak tertarik? Carbino bilang dalam wawancara dengan Fortune bahwa ketidakjelasan itu memperbesar resiko emosional.
Itu bantu jelaskan kenapa kalimat Ackman, meski nada-nya jadul, bisa direspon orang, kata Carbino. Formalitas-nya membuatnya mudah dijadikan parodi, tapi itu tawarkan sesuatu yg diam-diam diinginkan banyak anak muda: sebuah struktur, kata Carbino.
Gen Z belum tentu pengen kembali ke aturan gender kaku atau ritual pacaran tradisional. Di dunia pasca-#MeToo, Carbino jelaskan, Gen Z ingin pembatas, cara untuk memulai tanpa harus nebak aturannya. Untuk dia, kalimat itu resonates bukan karena elegan, tapi karena itu memberikan sebuah pertanyaan yg jelas, terbatas, dan sopan.
Dimana dia beda dengan Ackman adalah dalam penilaian susunan katanya sendiri. Menurut dia, “Boleh aku berkenalan?” lebih cocok dalam konteks profesional atau jaringan kerja. Kata-katanya terasa terlalu formal, terlalu kaku, terlalu mengingatkan ke perkenalan bisnis. Ackman bela formalitas kata-katanya, katanya tata bahasa yg benar dan kesopanan itu “kunci” dari kesuksesannya.
Carbino ngerasa canggung.
“Gen Z bicara lebih santai,” katanya. “Kesopanan itu bagus, tapi formalitas bisa berakhir buruk.”
Sesuatu seperti “Bisa ngobrol sebentar?” atau “Boleh kenalan?”, katanya, punya semangat yg sama tapi terdengar lebih manusiawi dan kekinian.
Pershing Square, hedge fund Ackman, menolak berkomentar untuk cerita ini.
Tapi, Carbino percaya bahwa kegilaan akhir pekan ini sedikit hubungannya dengan keanggunan kalimatnya sendiri. Ini lebih tentang kerentanan dibawahnya; keinginan untuk diperhatikan, ketakutan untuk mendekat, dan jurang kesepian diantara keduanya.
“Dia sentuh isolasi,” katanya. “Dia sentuh betapa pengennya orang terhadap koneksi dan betapa tidak pastinya mereka tentang cara memulainya.”