Awal minggu ini, Home Depot mengumumkan salah satu unit bisnisnya akan membeli distributor produk bangunan GMS senilai $4,3 miliar. Mereka menang dalam perang tawar dan ini menunjukkan betapa seriusnya Home Depot ingin menguasai pasar kontraktor profesional, terutama saat pasar DIY (do-it-yourself) sedang sulit.
GMS, singkatan dari “Gypsium Management and Supply” dan berbasis di Tucker, Georgia, bukan target akuisisi yang paling menarik. Tapi, mereka punya jaringan luas dengan sekitar 320 pusat distribusi yang menjual barang seperti papan dinding, plafon, rangka baja, dan bahan bangunan lainnya. Selain itu, GMS mengoperasikan kurang lebih 100 pusat penjualan, penyewaan, dan servis alat untuk pelanggan kontraktor perumahan dan komersial—semua hal yang diinginkan Home Depot.
Kesepakatan ini menyusul akuisisi besar Home Depot tahun lalu senilai $18 miliar terhadap SRS Distribution (yang sekarang membeli GMS). Itu adalah akuisisi terbesar dalam sejarah perusahaan, bertujuan membantu Home Depot mendapatkan porsi lebih besar di segmen kontraktor profesional. Pelanggan ini biasanya jarang pakai Home Depot atau Lowe’s, lebih memilih retailer yang melayani profesional.
Dengan akuisisi GMS, SRS akan mendominasi pasar pemasok profesional baik untuk eksterior (atap, kolam renang, taman) maupun interior (papan dinding, rangka baja, plafon), tulis analis Cowen & Co, Max Rakhlenko, dalam catatan riset. Dia memuji kesepakatan ini karena akan memperluas SRS ke berbagai segmen, meningkatkan pangsa pasar, dan memperkuat jaringan distribusi Home Depot.
Meski pasar tidak terlalu bereaksi atas berita ini (saham Home Depot tetap stabil saat pengumuman), kesepakatan ini menunjukkan perubahan strategi besar yang dipikirkan matang oleh Home Depot. Selama 20 tahun terakhir, Home Depot sukses besar berkat pasar perumahan yang panas, mendorong orang merenovasi rumah. Tapi sekarang, pertumbuhan masa depan tidak hanya berasal dari 2.000 toko besar mereka yang melayani proyek rumah sederhana. Mereka ingin dapat pesanan besar dari profesional untuk proyek kompleks seperti pemasangan kolam renang atau perbaikan atap. Di kuartal pertama tahun ini, penjualan di toko AS yang sudah buka setahun hanya naik 0,2%, menunjukkan perlunya strategi baru.
“Mengembangkan segmen Pro adalah bagian kunci strategi pertumbuhan kami,” kata Ann-Marie Campbell, wakil presiden eksekutif operasi toko AS Home Depot, kepada analis Wall Street bulan Februari. Ini juga jadi fokus CEO Ted Decker, yang ingin meneruskan kesuksesan retailer di bawah dua pendahulunya.
Kesepakatan ini mengingatkan betapa hati-hati Home Depot dalam strategi M&A-nya. Sekitar 20 tahun lalu, fokusnya pada akuisisi merek untuk melengkapi produk di toko. Di tahun 2010-an, mereka investasi di e-commerce dan logistik. Baru-baru ini, modernisasi produk untuk area tumbuh seperti perangkat smart home.
Pendekatan ini membuat Home Depot lebih unggul dibanding rival Lowe’s dalam pertumbuhan penjualan: tahun lalu, penjualan tahunannya mencapai $159,5 miliar, hampir dua kali lipat dari sepuluh taun lalu.
Ini berbeda dengan banyak akuisisi di dunia retail dan barang konsumen yang justru merugikan. Lowe’s menghabiskan tahunan membeli Rona di Kanada, tapi akhirnya dijual kembali dengan kerugian $2 miliar. Tapestry rugi besar setelah beli Kate Spade. Capri Holdings jual Versace dengan kerugian. Pembelian 2.000 toko Rite Aid oleh Walgreens sia-sia. Coca-Cola rugi $760 juta karena minuman BodyArmor tidak laku, dan Dollar Tree jual divisi Family Dollar dengan kerugian besar.
Dan masih banyak lagi. Sekitar 70% kesepakatan M&A gagal. Banyak yang seperti usaha nekat merek ingin tumbuh cepat, atau sekadar menghilangkan saingan, atau overestimasi kemampuan mengubah perusahaan lain. Memang ada kekhawatiran siklus M&A bisa tekan margin Home Depot jangka pendek. Tapi pendekatan hati-hati mereka sudah terbukti sukses dalam jangka panjang, jadi contoh bagus untuk perusahaan besar cara melakukan akuisisi yang berhasil.