Lebih dari 280 juta orang Asia Tenggara, sekitar 40% dari populasi regional, mengidentifikasi sebagai Muslim. Hal ini memunculkan permintaan untuk barang dan jasa yang sesuai dengan gaya hidup Islami. Ini lebih dari sekadar makanan halal: konsumen Muslim juga meminta fashion yang lebih modest atau kosmetik yang tidak menggunakan produk turunan babi atau alkohol.
Bahkan sektor keuangan Asia Tenggara menjadi lebih halal. Keuangan syariah di Asia Tenggara mencapai sekitar $859 miliar pada 2023, naik dari $754 miliar pada 2020, menurut sebuah studi.
Mambu, sebuah platform perbankan inti berbasis cloud dari Amsterdam, ingin menjangkau pasar yang tumbuh ini. “Pasar Asia Tenggara, terutama Malaysia dan Indonesia, sangat dinamis dalam hal pertumbuhan di bidang perbankan syariah,” kata David Becker, direktur perusahaan itu.
Perusahaan sudah bekerja dengan klien Asia Tenggara seperti Bank Islam, penyedia produk keuangan syariah terbesar di Malaysia, dan Bank Jago, sebuah bank digital Indonesia.
Becker bilang keuangan syariah tumbuh sama cepatnya dengan perbankan tradisional, jadi Mambu berharap menyediakan alat untuk mendukung produk syariah seperti bagi hasil.
Tidak seperti perbankan konvensional, lembaga keuangan syariah harus menghindari perusahaan yang bergerak di produk berbahaya atau dianggap “haram”, seperti babi, alkohol, atau perjudian.
Bank syariah juga tidak boleh memberi bunga dan jadi harus menghasilkan untung melalui mekanisme lain, seperti bagi hasil atau sewa.
Becker optimis bahwa populasi Asia Tenggara yang lebih muda dan melek teknologi akan tertarik pada solusi keuangan digital—khususnya yang mencerminkan prinsip Islam.
Indonesia, negara Muslim terbesar di dunia, adalah pasar target yang jelas untuk keuangan syariah. Malaysia, di mana dua pertiga populasi adalah Muslim, adalah pilihan lain. Ada juga populasi Muslim signifikan di Singapura, Filipina, dan Thailand.
Malaysia, negara pertama di regional yang mengadopsi keuangan syariah, telah “mencapai puncak” dalam hal pertumbuhan, kata seorang profesor di ESSEC Business School. Sebaliknya, Indonesia menawarkan lebih banyak potensi untuk perbankan ritel dan asuransi “takaful”.
“Ada banyak ruang untuk berkembang di negara ini, jadi banyak perusahaan mau datang ke Indonesia,” katanya.
Tapi dia mengingatkan bahwa Asia Tenggara punya risikonya sendiri. Contohnya, tidak seperti pasar Timur Tengah yang lebih homogen, Asia Tenggara lebih heterogen, artinya bisnis perlu menyesuaikan penawaran mereka untuk berbagai ekonomi, basis konsumen, dan rezim regulasi yang berbeda.
Becker dari Mambu mengakui tantangan yang ada di Asia Tenggara, termasuk perlu mengikuti regulasi. Tapi ukuran peluangnya lebih besar daripada risikonya.
“Kami hanya melihatnya terus tumbuh, dan saya rasa itu faktor mengapa pemerintah dan regulator sangat mendukung,” katanya.