Buka Editor’s Digest gratis
Roula Khalaf, Editor FT, memilih cerita favoritnya di newsletter mingguan ini.
Diskusi politik mainstream mulai sering pakai kata “white British”. Istilah ini makin dipakai buat bikin narasi jadi korban, seolah penduduk asli UK tersingkir. Ceritanya selalu sama: white British jadi minoritas di negara sendiri; mereka diskriminasi saat cari kerja; budaya dan sejarah Inggris diremehkan.
Memang ada masalah nyata. Skandal grooming anak; imigrasi massal bikin ghetto rasial yang sulit terintegrasi; multikulturalisme asimetris bikin kesan masyarakat dua tingkat. Tapi kenapa fokus ke istilah kasar “white British”?
Ketika Robert Jenrick, yang dianggap calon pemimpin Konservatif, bicara soal penurunan populasi “white British” dan bilang UK “sudah jadi pulau orang asing”, kata-katanya gak bedain non-kulit putih. Sepertinya sama masalahnya kalau Rishi Sunak atau Kemi Badenoch pindah kesana.
Gak ada gradasi, gak pisahin yang sudah terintegrasi atau belum. Generasi ketiga Black British yang nenek moyangnya datang waktu Windrush tetap dianggap salah di kalkulasi ini. Begitu juga politisi kayak Priti Patel atau Sadiq Khan, aktor Ben Kingsley, jurnalis Mishal Husain, dan warga taat hukum yang kulitnya gak cukup putih.
Neil O’Brien, politisi Konservatif, pakai istilah white British di blog datanya karena kategori etnis di sensus. Tapi postingannya juga bikin alarm dengan judul kayak “imigrasi massal dan perubahan sosial cepat”. Tory lain juga pakai istilah ini. Nigel Farage lebih hati-hati tapi dia juga bicara soal kota “minoritas putih”.
Apa pun niatnya, pakai “white British” dalam diskusi politik cuma urusin warna kulit dan abaikan integrasi atau kontribusi. White British jadi satu-satunya ukuran kebaikan. Salah satu blogger sayap kanan bilang di akhir abad ini, white British cuma 33% (turun dari 75% di Inggris dan Wales tahun 2021) dan mayoritas gak punya garis keturunan Inggris lebih dari 1-2 generasi.
Di luar partai mainstream, pejuang kulit putih baru Inggris gak ragu cari alasan kesal. Kekerasan anti-imigran dibenarkan oleh komentator sayap kanan. Sentimen anti-Muslim makin biasa. Kejahatan non-kulit putih terus disorot, kejahatan orang lain diabaikan. Ketika seorang tabrak fans Liverpool, media sosial siap perang. Tapi setelah polisi bilang pelakunya putih (langsung sepi).
Ini masalah bukan cuma karena alasan jelas. Tapi juga karena ada isu serius yang harus ditangani. Baru minggu ini laporan Louise Casey sorot kegagalan melindungi anak perempuan dari eksploitasi seksual oleh pria keturunan Pakistan. Kejahatan ini diabaikan karena takut dianggap rasis atau memecah belah, dan sikap menghina terhadap korban.
Keluhan ke orang luar selalu ada. Tapi memang beberapa daerah punya komunitas imigran sangat besar yang menghambat integrasi. Juga mengkhawatirkan beberapa daerah memilih anggota parlemen independen yang bawa argumen sektarian di area Muslim.
Semua ini bikin pertanyaan: Mau ngapain? Kurangi imigrasi legal mungkin perlambat perubahan, tapi gak ubah kondisi yang udah ada: 9,6 juta penduduk non-kulit putih atau multi-etnis plus 3,7 juta kulit putih non-Inggris yang legal.
Cuma ada tiga pilihan. Pertama, santai aja. Kedua, dorong integrasi dan bantu orang keluar dari ghetto mereka sendiri. Artinya butuh kebijakan bahasa dan budaya yang kuatin identitas Inggris.
Ketiga, solusi ala mantan anggota Tory dan Ukip Douglas Carswell yang mau “deportasi massal orang Pakistan”. Ini bukan cuma buat imigran ilegal atau kriminal, tapi kesimpulan logis kalau lihat ini cuma permainan angka. Untungnya, gak ada bukti dukungan publik buat usir imigran legal dan anak-anak mereka yang lahir di Inggris.
Tapi tantangan untuk sayap kiri adalah, kalau masalahnya nyata, harus diakui dan diatasi. Entah geng pemerkosa, praktik rekrutmen, atau isu lain, politisi progresif gak bantu dengan anggap semua keluhan “ekstrim kanan” dan hindari percakapan sulit.
Masa depan harmonis cuma bisa ada di masyarakat multi-etnis yang terintegrasi baik dan dianggap adil. Banyak yang bilang Inggris udah seperti itu. Tapi satu hal jelas: ada masalah serius, rumit, nyata atau cuma persepsi. Tapi ini gak bakal selesai dengan memperbesar keluhan kulit putih lewat dikotomi malas soal warna kulit yang bikin warga dua tingkat, asli atau “plastik”. Beberapa masalah gak bisa direduksi jadi putih atau bukan putih.