Saat Karyn Tomlinson naik panggung di Lyric Opera House Chicago bulan Juni ini untuk menerima Penghargaan James Beard 2025 sebagai Chef Terbaik: Midwest, dia mengenakan sepotong sejarah keluarga: gaun panjang warna coral yang pernah dipakai neneknya saat jadi Ratu Jagung Dassel tahun 1941. Ini penghormatan yang pas untuk seorang chef yang filosofi masakannya berakar pada warisan, keramahan, dan budaya Midwest.
Tomlinson, pemilik sekaligus chef restoran Myriel di St. Paul, Minnesota, yang berusia 40 tahun, cepat menjadi suara utama dalam gelombang baru masakan Midwest. Restorannya, yang terkenal dengan “masakan nenek ala baru“—perpaduan akar Skandinavia dan Minnesota dengan teknik Prancis yang halus—telah dapat pujian dari Food & Wine, Esquire, dan The Washington Post. Bayangkan kulit pie emas yang meleleh di mulut, dipanggang setelah dibentuk pakai lemak dingin dan pemotong adonan—persis seperti yang diajarkan neneknya.
Karyn Tomlinson
Pendekatan Tomlinson sederhana tapi tepat: Dia mendukung petani lokal, fokus pada keberlanjutan, dan menciptakan hidangan yang nyaman tapi canggih, sehingga dapat penggemar setia dan pengakuan nasional.
Dibesarkan di keluarga yang menjadikan keramahtamahan sebagai gaya hidup, perjalanan Tomlinson membawanya dari hutan Minnesota ke dapur Le Cordon Bleu di Paris umur 25 tahun, lalu ke restoran berbintang Michelin, Fäviken, di Swedia. Dia pulang ke rumah di umur 32 dengan pandangan global dan misi: menciptakan makanan yang menyatukan orang, menghormati tanah, dan merayakan bahan-bahan lokal yang kurang dikenal.
FORTUNE baru-baru ini ngobrol dengan Tomlinson di puncak kesuksesannya untuk membahas jalannya yang tak terduga dari host restoran jadi pelopor industri, dan bagaimana memenangkan salah satu penghargaan tertinggi di dunia kuliner mengubah karier dan citra masakan Midwest.
FORTUNE: Akar Minnesota sangat penting dalam ceritamu. Bisa cerita tentang ibu dan nenekmu?
TOMLINSON: Nenekku orang yang ceria. Dia sepenuhnya gadis desa; dia bisa jalan kaki tanpa alas kaki hampir sepanjang tahun. Dia tahu cara bikin orang nyaman, dan gak pernah stres menyiapkan makanan. Keramahtamahannya sangat hangat. Dan dia bikin pie terenak, semua orang tau. Orang-orang di acara gereja atau piknik selalu cari tahu pie buatannya. Begitulah caranya dia peduli—dengan masak.
Dia dan ibuku mewakili femininitas yang mau bekerja keras tapi sekaligus penuh kasih. Keramahtamahan di keluarganya tentang bikin orang istimewa, bukan pamer. Ibuku adalah teman diskusi favoritku soal masak dan jamuan.
FORTUNE: Kapan kamu putuskan serius mengejar makanan?
TOMLINSON: Setelah kuliah, aku sadar ingin lakukan sesuatu bermakna. Masak menyatukan orang, dan aku ingin ciptakan hubungan seperti itu. Aku gak punya pelatihan, jadi aku ke Prancis belajar di Le Cordon Bleu di Paris.
FORTUNE: Gimana rasanya sekolah masak di Prancis?
TOMLINSON: Intens dan fokus—hanya masak seharian. Aku belajar setara beberapa semester, tapi diperas dalam waktu lebih singkat. Habis uang, aku pikir, ya udah, balik ke Minnesota di mana aku masih bayar sewa, kirim CV ke sana-sini, dan lihat apa terjadi.
FORTUNE: Pernah merasa jadi orang asing di dapur? Pernah alami sindrom penipu?
TOMLINSON: Pasti. Aku mulai masak profesional di pertengahan 20-an, telat dibanding yang lain. Banyak chef mulai kerja cuci piring umur 14 lalu naik pangkat. Aku tau diriku pintar dan termotivasi, tapi gak punya ingatan otot atau pengalaman bertahun-tahun; aku gak paham lika-liku dapur. Jadi aku benar-benar merasa seperti penipu.
Aku rasa rendah hati harus belajar dari dasar, yang kulakukan beberapa kali: pertama saat mulai masak di usia 20-an, lalu setelah beberapa tahun di restoran, aku kerja di dapur elit di Swedia: Fäviken, restoran Magnus Nilsson. Masuk daftar 50 Terbaik Dunia. Restoran berbintang Michelin. Pengalaman luar biasa.
Di kedua situasi, aku tau diriku pintar, punya pengalaman, tapi di konteks itu, aku gak tau apa-apa. Aku harus bangun kepercayaan diri di tiap tempat. Lama-lama itu terkumpul, tapi butuh kerendahan hati. Aku segan tunjukkan kalau aku gak tau sesuatu, atau akui bahwa seseorang yang mungkin gak aku suka atau gak respek padaku mungkin punya jawabannya.
Karyn Tomlinson
FORTUNE: Kapan perasaan itu berakhir buatmu? Saat kepercayaan dirimu menang?
TOMLINSON: Mungkin beberapa minggu lalu saat dapat penghargaan James Beard. Itu terjadi bertahap. Aku punya orang-orang hebat dalam hidup yang ingatkan bahwa semua orang berjuang dengan itu—bahkan yang terlihat percaya diri atau sangat ahli. Ayahku sering mengingatkanku soal itu.
Ada yang meragukan, tapi selalu ada yang mendukung, dan aku sangat bersyukur pada mereka.
Kadang-kadang, itu saja yg kamu butuh: satu suara yang percaya kamu bisa melakukannya, dan bahkan jika kamu belum tau sesuatu, kamu bisa belajar, dan gapapa kalo belum tau.
**FORTUNE:** Gimana caranya kamu beralih dari kerja utk orang lain ke buka restoran sendiri?
**TOMLINSON:** Di sebagian besar karier masak aku, langkah berikutnya sering ga masuk akal di kertas. Semuanya terasa agak nekat. Setelah dari Swedia, aku pulang dan ada yg minta aku ngelola restorannya—padahal aku belum pernah ngelola restoran sebelumnya. Pemiliknya tanya apakah aku mau jadi partner dan ganti konsep. Aku kerja di rencana itu lumayan lama, tepat sebelum COVID. Akhirnya, mereka tutup restoran itu. Awalnya sedih, tapi sekarang aku bersyukur itu terjadi.
Beberapa bulan pas pandemi, aku punya dorongan kuat buat jadi pemilik restoran dan bikin tempat sendiri. Aku mulai semangat dan mikir, harus ngapain? Setelah pertimbangin baik-baik, aku ambil risiko itu. Aku belajar bahwa meski kamu belum siap secara teknis, kalau bisa manfaatkan sumber daya di sekitarmu, kamu bakal baik-baik aja.
**Myriel** dapat ulasan bagus dari lokal sampe nasional.
*—Karyn Tomlinson*
**FORTUNE:** Apa risiko buka Myriel?
**TOMLINSON:** Aku buka Myriel dengan cara sederhana. Minjem $25.000 dari paman. Agen properti aku, pas cari tempat, dia semakin tertarik sama ide aku dan akhirnya jadi partner bisnis.
Karena COVID, susah dapet pinjaman bank. Butuh sekitar $100.000 buat renovasi, jadi aku cari investor diam juga. Untungnya, kami bisa bikin restoran dengan kurang dari $150.000—itu gila sih. Tapi buat aku yg selama ini kerja di dapur dan ga punya banyak duit, itu risiko finansial besar. Kamu harus pastikan ide kamu jalan, atau punya rencana cadangan. Aku ga mau cari uang cepat kayak beberapa chef lain, biar ga berantakan.
Karena terjadi pas COVID, kami dapet sewa murah. Aku bahkan mulai operasi pas masih renovasi, jual makanan takeout di akhir pekan, jadi ada pemasukan buat hire orang.
**FORTUNE:** Gimana bulan-bulan pertama setelah buka? Respon masyarakat gimana?
**TOMLINSON:** Agak lambat. St. Paul tuh lingkungan kecil, orang butuh waktu buat terbiasa sama hal baru. Tapi ada beberapa tetangga setia beli takeout pas COVID—sampai sekarang ada yg bilang, *”Dulu beli meal kit kamu, itu waktu spesial buat kami.”* Beberapa hal perlu waktu buat berkembang.
Aku ga pernah bayar marketing, semuanya dari mulut ke mulut. Kami beruntung dapat perhatian media. Aku udah punya reputasi di kota itu, jadi orang antusias tulis tentang pembukaan restoran. Dalam beberapa bulan, kami masuk daftar **50 Restoran Baru Terbaik Esquire** dan diulas **The Washington Post**. Itu semua bantu restoran tetap ramai. Kami beruntung bisa langsung sukses.
**FORTUNE:** Kenapa namain restoran Myriel?
**TOMLINSON:** Myriel terinspirasi dari **uskup di *Les Misérables* karya Victor Hugo**. Pas dia mau makan, datang narapidana baru keluar penjara, Jean Valjean.
Si narapidana ngakuin semua kesalahannya dan tunjukkan dokumen penjara, berharap bakal diusir kayak di tempat lain. Tapi respon uskupnya cuma siapin meja makan dengan perak terbaik dan ajak dia makan. Aku pikir, *wah, gambaran keramahan yang keren banget.*
**FORTUNE:** Gimana masa kecil kamu?
**TOMLINSON:** Aku ga bermimpi jadi chef waktu kecil. Aku suka main di luar, suka seni, dan ga pernah bosen—selalu ada proyek. Sebagai anak tunggal, aku sering bikin permainan atau rencana buat anjingku, campuran lab hitam.
Sekarang aku hargai Minnesota, tapi dulu aku merasa beda, mungkin karena minatku aneh—kayak film lama dan seni. Ayahku ngajar film, jadi aku tumbuh analisis film dan suka klasik kayak *It’s a Wonderful Life*. Aku selalu merasa agak berbeda dari pengalaman biasa di Minnesota.
Masak ada di sekelilingku—ibuku masak semuanya dari awal, nenek juga rajin masak—aku penasaran, tapi ga sadar tertarik masak sampe lulus kuliah. Saat itu aku mulai berkebun, nanam sayur, dan cari cara olah mereka, yang akhirnya bikin aku lebih sering masak.
**FORTUNE:** Di mana kebun pertamamu?
**TOMLINSON:** Aku sewa rumah sama temen setelah kuliah. Halamannya jadi kebun pertamaku. Kakek saya mengajari saya banyak hal, dan tetangga kami, seorang pensiunan ahli hortikultura, membantu saya memulai. Dia mengajari saya cara menandai baris dengan lobak, cara menanam dengan baik, dan cara mengusir “hama”, seperti katanya. Saya menanam kacang romano, kohlrabi, kubis, wortel, dan bit.
**FORTUNE:** Apa yang paling kamu suka tanam?
**TOMLINSON:** Saya suka bit dan lobak—mereka yang pertama bisa dipanen di Minnesota. Tumbuhnya cepat banget. Bahkan kalau lobak bolting [berbunga terlalu cepat karena stres lingkungan], kamu bisa makan bunganya dan bijinya, lalu simpan bijinya untuk ditanam tahun depan. Selada juga memuaskan, karena tumbuh dengan cepat.
**FORTUNE:** Makanan apa yang harus semua orang belajar masak?
**TOMLINSON:** Sebagai orang Midwest, saya sarankan belajar mencintai biji-bijian dan kacang-kacangan. Murah, bergizi, dan mengenyangkan—seperti nasi dan kacang, tahu kan? Saya bubur gurih pakai gandum dan sorgum, atau masakan simpel seperti omelet dengan sayuran. Saya juga sering bikin grain bowl dengan telur poach di atasnya, plus sayuran atau acar yang ada di kulkas. Banyak masakan bisa dibuat seperti itu.
Kalau makan daging, belajar bikin semur yang enak, dan pelajari beberapa cara biar nggak cuma beli steak mahal atau dada ayam terus. Belajar masak bagian daging yang awalnya bikin kurang nyaman—nggak cuma lebih sehat, tapi banyak budaya punya tradisi makan seperti itu. Kalau bisa lewati rasa takut, harganya lebih murah, bergizi, dan enak juga.