Para investor lagi banyak sekali memasukan uang ke perusahaan-perusahaan baru yang IPO, kayak zaman tahun 2021. Musim ini aja udah ada beberapa perusahaan baru kayak FIG, BLSH, dan nanti STUB. Bagi sebagian orang, ini tanda bagus setelah kekacauan karena tarif yang sempat ancam rencana IPO sebelumnya.
Tapi, analisis dari data IPO menunjukkan bahwa pemimpin perempuan sangat jarang di dewan direksi dan tim eksekutif di hampir semua perusahaan baru ini. Padahal udah bertahun-tahun ada seruan untuk lebih banyak keragaman. Data ini mungkin bahkan tanda buruk untuk masa depan eksekutif perempuan, karena program DEI sedang dapat perlawanan dan mulai ditinggalkan, khususnya di industri teknologi.
Damion Rallis, pendiri perusahaan data Free Float Analytics, melihat informasi dari 61 perusahaan yang IPO di dua minggu pertama Agustus. Dia nemuin hampir 88% perusahaan (kebanyakan teknologi) cuma punya satu atau nggak ada wanita sama sekali di dewan direksinya. Sementara 93% cuma punya satu atau nggak ada eksekutif wanita. Rallis sebut ini pasar “Bro-PO” dan bilang temuannya “gila”.
“Hilang sudah idealisme kita. Kita cuma nyerah,” katanya di podcast Free Float.
Cuma tujuh dari 61 perusahaan yang punya dua atau lebih wanita di dewan. Cuma empat yang punya dua atau lebih eksekutif wanita. Total, wanita cuma isi 12% dari 349 direktur dan 11% dari 205 eksekutif. Sebagai perbandingan, wanita isi sekitar 30% dewan di perusahaan-perusahaan Russell 3000 dan 29% peran eksekutif level C-suite.
Beberapa tahun terakhir, dewan perusahaan fokus pada keragaman gender dan ras, apalagi setelah Nasdaq keluarkan aturan untuk membuka statistik keragaman dewan. Aturan itu mau diperbesar, tapi dihentikan oleh pengadilan bandung pada akhir 2024.
Di 2020, CEO Goldman Sachs David Solomon bilang IPO adalah momen penting dan banknya janji nggak akan bantu perusahaan IPO jika dewan mereka semua laki-laki. Tapi janji itu dihentikan tahun ini karena perkembangan hukum terkait aturan keragaman dewan.
Langkah Goldman Sachs itu dilihat sebagai respons terhadap perang terhadap kebijakan perusahaan “woke” yang sekarang didukung oleh Presiden Trump.
Meski ada perubahan kebijakan ini, banyak investor masih berharap perusahaan membentuk dewan dan tim eksekutif yang beragam. Untuk perusahaan yang baru IPO, standarnya memang lebih rendah, kata Matt Moscardi, pendiri Free Float Analytics. Tapi dia masih terkejut karena perusahaan-perusahaan baru ini bahkan nggak mengikuti norma pasar. Mereka mengabaikan 50% populasi manusia.
“Kamu pasti berharap mereka lihat dan bilang, ‘Kamu mau IPO, jadi kelihatannya kayak perusahaan publik lain gimana?'” kata Moscardi ke Fortune, “dan pada dasarnya nggak ada usaha untuk melakukan itu.”