Versi Bahasa Indonesia (Level B1 dengan beberapa kesalahan/typo):
Beberapa minggu lalu, Fortune melaporkan bahwa hampir setengah eksekutif teknologi sudah menggunakan AI agen di tempat kerja. Saat baca itu, reaksiku pertama: Kenapa setengahnya nunggu apa? Di era di mana AI generatif dan agen otonom mengubah cara kerja, ragu-ragu jadi risiko baru.
Andy Valenzuela dari Salesforce bilang, "Setiap pekerjaan harus dipikir ulang." Aku setuju, dan aku mulai dari pekerjaanku sendiri.
Lebih dari dua dekade, aku memimpin tim melalui berbagai perubahan. Di Google, mengembangkan operasi di Kanada; di Evernote, memimpin perubahan; di Glean, membantu luncurkan asisten kerja berbasis AI; dan sekarang di GrowthLoop, menghadapi gelombang AI di pemasaran. Setiap peran dipengaruhi kecepatan, teknologi, dan ekspektasi tinggi. Tapi tak ada yang ubah gaya kepemimpinanku seperti AI sekarang.
Dulu, aku pikir pemimpin yang baik harus menguasai segalanya: cepat, multitasking, dan selalu ahead. Tapi tahun lalu, sesuatu berubah. Saat AI mulai jadi kolaborator, bukan cuma alat, aku mulai melepas hal-hal yang dulu kupercaya penting. Dan aku temukan ruang untuk memimpin.
Ini bukan cerita tentang AI gantikan manusia. Ini tentang bagaimana AI membantuku jadi lebih hadir, lebih bijaksana, dan lebih manusiawi dalam memimpin.
Era kepemimpinan yang sibuk
5 atau 10 tahun lalu, aku definisikan kepemimpinan dari hasil. Apakah aku cepat ambil keputusan? Bisa kerja lebih keras dari yang lain?
Setiap hari, aku hadapi 10 rapat, 30 thread Slack, dan to-do list sampai weekend. Sibuk jadi kebanggaan. Sekarang sadar, itu bukan kepemimpinan, tapi sekadar bertahan. Aku lebih banyak bereaksi daripada merenung, dan itu terasa seperti robot.
Lalu, semuanya berubah.
Titik balikku dengan AI
Awalnya, aku pakai AI untuk mempercepat kerja: ringkas laporan, draft email, analisis riset. Tapi cepat sadar, AI juga membersihkan pikiran dari kekacauan.
Saat AI meringkas laporan 260 halaman, aku hemat waktu dan energi. Saat AI bantu personalisasi pesan ke kontak Fortune 500, hasilnya lebih tulus karena aku punya waktu untuk mikirin detail yang bermakna.
Dengan waktu ekstra itu, aku bisa lakukan hal-hal yang tertunda: bimbing anggota tim, pikirkan visi produk, atau tulis update perusahaan yang tidak kaku.
Meningkatkan hasil dan dampak
Sekarang, 60-70% hariku melibatkan AI. Aku serahkan update status, analisis dokumen, dan draft pesan ke mesin. Sebagai gantinya, aku dapatkan kembali sesuatu yang hilang: ruang.
Ruang untuk berpikir. Untuk melatih. Untuk memimpin.
Daripada terjebak detail, aku andalkan AI untuk menyiapkan relevansi—aktivitas terbaru pelanggan, update proyek, bahkan sentimen internal—sebelum aku minta. Perubahan ini buat aku lebih fokus dan lebih tersedia untuk tim.
Seorang rekan di GrowthLoop bilang, "Kamu sekarang ajukan pertanyaan lebih besar, bukan cuma lebih cepat." Itu tepat. Aku tidak lagi dalam mode reaktif, tapi refleksif.
Itulah kekuatan AI. Bukan menghilangkan, tapi mengembalikan. AI tidak cuma kurangi beban, tapi juga ubah gaya kepemimpinan dari tegang jadi strategis.
ROI manusia dari otomatisasi
ROI AI bukan cuma waktu yang dihemat, tapi pikiran lebih tajam, percakapan lebih bermakna, dan keputusan lebih baik.
Contoh, aku pernah kirim pesan personal ke kontak penting—mantan editor yang pernah main hoki dengan politisi terkenal. AI bantu aku ingat anekdot spesifik itu, dan pesan terasa lebih autentik. Dulu, aku tak akan sempat lakukan itu di tengah kesibukan. Tapi di situlah relasi dan peluang dimulai.
Memikirkan ulang kepemimpinan
Kita sering debat pekerjaan mana yang akan diubah AI. Tapi bagaimana dengan peran memimpin? Itu juga perlu dipikir ulang.
Kepemimpinan lama tentang kontrol dan rencana jangka panjang. Tapi kontrol itu ilusi, dan rencana jangka panjang sering tidak pasti. AI bergerak lebih cepat, jadi kita juga harus.
Artinya, pemimpin harus beralih dari mengarahkan ke mendesain; dari "command-and-control" ke "context-and-coach". Fokusnya bukan pada mengontrol setiap keputusan, tapi menciptakan lingkungan yang bantu tim berkembang.
Nanti, setiap karyawan akan mengelola banyak AI agen. Itu artinya setiap karyawan juga jadi pemimpin—bertanggung jawab atur tujuan, beri feedback, dan delegasikan tugas dengan baik. Tugas kita sebagai eksekutif adalah mempersiapkan mereka. Mulai sekarang: investasi di pelatihan, tetapkan prinsip pengambilan keputusan, dan desain ulang alur kerja untuk integrasikan AI.
Ajakan untuk berinovasi, bukan mundur
Kalau kamu founder atau eksekutif yang masih ingin kontrol segalanya, nasihatku sederhana: berhenti. Kamu tidak bisa mengembangkan diri sendiri, tapi bisa tingkatkan dampak dengan AI, tim, dan kemanusiaanmu.
Mulai kecil. Pilih satu tugas yang tidak kamu suka—seperti update status atau riset—dan serahkan ke AI. Lalu, gunakan waktu yang kamu dapat untuk lakukan hal yang mesin tidak bisa: beri feedback jujur ke rekan, dengarkan keluhan pelanggan, atau tulis ucapan terima kasih.
Di situlah kepemimpinan hidup. AI tidak bisa gantikan momen itu, tapi bisa bantu luangkan waktu untuk itu.
Jadi ya, setiap pekerjaan harus dipikir ulang. Tapi mari mulai dari kita sendiri.
Pendapat di artikel ini adalah pandangan penulis dan tidak selalu mencerminkan pendapat Fortune.