Subsidi BBM yang Tidak Tepat Menyulitkan APBN dengan Beban Rp90 Triliun

Kebijakan pembatasan bahan bakar minyak (BBM) subsidi telah diwacanakan oleh pemerintah beberapa kali namun belum berhasil diterapkan. Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, menilai bahwa bantahan Presiden Jokowi dua kali menunjukkan bahwa masih ada keraguan dalam mengambil kebijakan pembatasan BBM bersubsidi.

Fahmy menyebut ada pertimbangan tertentu yang membuat kebijakan pembatasan penyaluran energi belum diterapkan, terutama berkaitan dengan inflasi dan daya beli masyarakat.

Menurutnya, kekhawatiran Jokowi terkait kemungkinan kenaikan inflasi dan penurunan daya beli masyarakat menjadi alasan mengapa kebijakan pembatasan BBM subsidi belum diimplementasikan, dengan tujuan untuk menjaga reputasi Jokowi sebelum masa jabatannya berakhir pada Oktober 2024.

Fahmy mencatat bahwa pembatasan BBM subsidi akan mengakibatkan kenaikan harga bagi konsumen yang seharusnya tidak menerima subsidi, sehingga mereka harus beralih ke BBM non-subsidi yang harganya lebih tinggi. Namun, kenaikan harga tersebut perlu diatur agar tidak berdampak signifikan terhadap inflasi dan daya beli masyarakat kelas menengah ke atas.

Dengan jumlah subsidi BBM yang salah sasaran mencapai sekitar Rp90 triliun per tahun, hal ini menjadi beban besar bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Jika kebijakan pembatasan BBM subsidi tidak segera diambil, beban ini akan menjadi tanggungan bagi pemerintahan Presiden berikutnya, yaitu Prabowo Subianto.

(nng)

MEMBACA  Komitmen Pegadaian dalam Mendukung Lingkungan yang Lebih Bersih & Sehat