Presiden Iran, Masoud Pezeshkian, telah menggunakan hak veto untuk memblokir undang-undang penggunaan hijab yang ketat, yang disahkan oleh parlemen. Pezeshkian, meminta keputusan dari badan keamanan tinggi.
Melansir dari The National, Kamis, 19 Desember 2024, penasihat Presiden Ali Rabiei mengatakan bahwa langkah tersebut dibenarkan atas dasar dampak hukum terhadap masyarakat. Dewan Keamanan Nasional Tertinggi adalah badan tertinggi di Republik Islam yang memutuskan masalah keamanan, dan Pezeshkian berharap agar dewan tersebut akan memoderasi undang-undang jilbab baru. Setidaknya sampai batas tertentu.
Undang-undang yang disahkan oleh kelompok garis keras di parlemen, menetapkan denda besar dan penolakan layanan negara bagi perempuan yang gagal mematuhi kewajiban untuk menutupi kepala mereka. Orang-orang terkemuka, juga akan dihukum sangat berat, dengan larangan menjalankan profesi mereka dan bepergian ke luar negeri. Disertai penyitaan hingga 5 persen aset mereka.
Kritik tajam terhadap undang-undang tersebut, termasuk dari dalam pemerintahan, menyebabkan keterlambatan dalam penegakannya. Pezeshkian dilaporkan menentangnya, karena takut akan adanya perlawanan di masyarakat Iran dan munculnya kembali keresahan rakyat. Para pengamat menganggap undang-undang tersebut merupakan bagian dari perebutan kekuasaan antara kelompok garis keras dan kelompok moderat, yang memberikan tantangan bagi Pezeshkian. Jika ia tidak mampu menang melawan kelompok garis keras, arah kebijakan moderat yang ia janjikan selama kampanye diyakini akan terancam.
Banyak wanita Iran di kota-kota besar kini menolak untuk mematuhi aturan yang ditetapkan oleh otoritas Islam. Tren ini muncul dari gerakan “Perempuan, Kehidupan, Kebebasan” yang muncul selama protes musim gugur 2022 lalu.