Jakarta (ANTARA) – Pembayaran virtual melalui Kode QR Indonesian Standard (QRIS) dan e-Money, seperti e-toll, tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen, kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.
“Tidak ada PPN pada transaksi QRIS, sama halnya dengan transaksi kartu debit lainnya,” ujar Hartarto di Kota Tangerang, Banten, Minggu.
PPN sebesar 12 persen hanya akan dikenakan pada nilai barang dan jasa, bukan pada sistem transaksi itu sendiri. Tarif PPN 12 persen ini akan berlaku mulai 1 Januari 2025, katanya.
Ia menjelaskan bahwa individu yang menggunakan QRIS untuk transaksi di dalam Indonesia atau di negara lain yang telah mengadopsi sistem pembayaran virtual ini tidak akan dikenakan PPN 12 persen.
Diketahui bahwa QRIS telah banyak diterapkan di berbagai negara Asia, termasuk Indonesia, Singapura, Malaysia, Vietnam, dan Thailand.
“Bahkan jika mereka melakukan transaksi di negara-negara Asia lain menggunakan QRIS, tidak akan dikenakan PPN. Ini menjelaskan bahwa sistem pembayaran itu sendiri tidak dikenakan PPN, karena PPN dikenakan pada barang dan jasa,” tegas Hartarto.
Prinsip yang sama berlaku untuk penggunaan e-toll.
Lebih lanjut, Hartarto menjelaskan bahwa PPN juga tidak akan dikenakan pada komoditas penting.
Ia menyatakan bahwa barang-barang kebutuhan pokok seperti tepung terigu, minyak masak Minyakita, dan gula industri akan tetap bebas dari kenaikan PPN.
Tarif PPN 12 persen juga tidak akan dikenakan pada biaya tol, layanan kesehatan, dan layanan pendidikan, kecuali untuk barang dan jasa tertentu.
Jenis barang dan jasa tertentu yang akan dikenakan PPN 12 persen akan ditentukan kemudian.
Sementara itu, Dwi Astuti, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), menjelaskan bahwa penerapan PPN pada layanan uang elektronik telah berlaku sejak diundangkannya Undang-Undang PPN Nomor 8 Tahun 1983.
Undang-Undang PPN kemudian diperbarui dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Dalam Undang-Undang HPP, layanan uang elektronik tidak termasuk dalam daftar layanan yang dibebaskan dari PPN. Hal ini berarti bahwa ketika tarif PPN meningkat menjadi 12 persen, tarif yang lebih tinggi juga akan berlaku untuk transaksi uang elektronik.
Peraturan lebih rinci mengenai penerapan PPN pada transaksi uang elektronik, atau layanan fintech secara umum, lebih lanjut dijelaskan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 69 Tahun 2022.
Layanan yang dikenakan PPN meliputi uang elektronik (e-money), dompet elektronik (e-wallet), gerbang pembayaran, layanan switching, layanan kliring, layanan penyelesaian akhir, dan layanan transfer dana.
PPN dikenakan pada biaya layanan atau komisi yang dibebankan oleh penyedia layanan. Ini meliputi biaya pendaftaran, biaya pengisian saldo, biaya pembayaran transaksi, biaya transfer dana, dan biaya penarikan tunai untuk uang elektronik.
Prinsip yang sama berlaku untuk layanan dompet elektronik, mencakup biaya pembayaran tagihan dan layanan paylater. PPN juga dikenakan pada biaya merchant discount rate (MDR).
Namun, penting untuk dicatat bahwa nilai uang elektronik itu sendiri, termasuk saldo, poin bonus, poin reward, dan transaksi transfer dana murni, tidak dikenakan PPN.
Misalnya, ketika seorang pengguna mengisi ulang saldo uang elektroniknya dan dikenakan biaya administrasi, biaya administrasi itu dikenakan PPN. Jika biaya administrasi pengisian ulang adalah Rp1.000 dan tarif PPN saat ini adalah 11 persen, PPN yang harus dibayarkan adalah Rp110, sehingga total biaya menjadi Rp1.110.
Jika tarif PPN meningkat menjadi 12 persen kemudian, PPN yang harus dibayarkan akan meningkat menjadi Rp120, sehingga total biaya menjadi Rp1.120.
Sebaliknya, ketika seorang pengguna hanya mentransfer dana atau menggunakan saldo yang sudah ada tanpa dikenakan biaya tambahan, tidak ada PPN yang dibebankan.
Berita terkait: Menteri memberikan jaminan perlindungan pekerja seiring kenaikan tarif PPN
Berita terkait: Indonesia akan memberikan diskon listrik 50 persen di tengah kenaikan PPN
Penerjemah: Bayu Saputra, Cindy Frishanti Octavia
Editor: Aditya Eko Sigit Wicaksono
Hak cipta © ANTARA 2024