Perlindungan Asuransi saat Banjir

VIVA – Awal 2025, Indonesia kembali dihadapkan pada tantangan besar. Banjir besar yang melanda Jakarta, Bogor, Bekasi, dan Sukabumi, menambah daftar panjang bencana yang terus berulang. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, dalam tiga bulan pertama tahun ini saja, terjadi 583 bencana alam, dan banjir menjadi penyumbang terbesar, dengan 393 kejadian. Jawa Tengah dan Jawa Timur menjadi wilayah terdampak paling parah, disusul Jawa Barat dan Riau.

Banjir bukan lagi sekadar bencana musiman. Ia telah menjadi momok yang menimbulkan kerugian besar. Tahun 2020, tercatat 1.519 kejadian banjir, meningkat menjadi 1.794 kejadian pada 2021, lalu turun menjadi 1.531 kasus pada 2022, dan 1.255 pada 2023. Meski pada 2024 jumlahnya berkurang menjadi 814 kejadian, dampaknya tetap signifikan. Kerusakan properti, kendaraan, bisnis, dan ancaman kesehatan terus menghantui masyarakat. Ketua Umum Kadin DKI Jakarta, Diana Dewi (2025), bahkan memperkirakan banjir di wilayah Jabodetabek berpotensi menyebabkan kerugian ekonomi hingga Rp 5 triliun. Angka yang fantastis!

Rahayu (2009), menyebut banjir sebagai tergenangnya suatu tempat akibat meluapnya air yang melebihi kapasitas pembuangan air di suatu wilayah dan menimbulkan kerugian fisik, sosial dan ekonomi. Namun, banjir di Indonesia bukan hanya soal curah hujan tinggi atau perubahan iklim. Faktor manusia memiliki peran besar dalam memperburuk situasi. Alih fungsi lahan secara masif telah menghilangkan daerah resapan air. Kawasan bisnis, industri, tempat wisata, dan pusat perbelanjaan tumbuh bak jamur di musim hujan, sementara tanah kehilangan kemampuan menyerap air. Belum lagi kebiasaan buruk membuang sampah sembarangan yang memperparah kondisi drainase yang sudah buruk.

Deforestasi juga turut andil. Hutan yang seharusnya menjadi penyerap air hujan dan pengendali erosi tanah, kini hilang digantikan oleh lahan-lahan gundul. Sistem drainase yang buruk, terutama di kota-kota besar, semakin memperparah keadaan. Sungai yang menyempit dan dangkal akibat sedimentasi serta tumpukan sampah, membuat banjir semakin tak terhindarkan.

MEMBACA  Pemerintahan Trump Mengacu pada Undang-Undang Musuh Asing Saat Merencanakan Ekstradisi Baru

Dengan kerugian finansial yang terus membengkak setiap tahun, mitigasi bencana banjir tidak bisa lagi bersifat reaktif. Dibutuhkan langkah-langkah strategis melalui pembangunan berkelanjutan, pengelolaan tata ruang yang lebih baik, perbaikan infrastruktur drainase, dan peningkatan kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungan.

Kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta dapat menjadi kunci utama dalam menciptakan sistem mitigasi yang lebih efektif. Tujuannya bukan hanya mengurangi dampak finansial, tetapi juga membangun ketahanan jangka panjang agar Indonesia lebih siap menghadapi banjir yang terus berulang.

Asuransi: Solusi Finansial yang Terlupakan

Di tengah ancaman banjir yang terus menghantui, asuransi seharusnya menjadi instrumen perlindungan finansial yang vital. Melalui asuransi, pemilik properti bisa mendapatkan ganti rugi atas kerusakan yang terjadi, sehingga proses pemulihan paska bencana bisa berjalan lebih cepat. Misalnya, Polis Property All Risks dapat melindungi aset dari kerusakan akibat banjir, sementara kendaraan bermotor bisa dilindungi dengan Polis Comprehensive (All Risks) yang mencakup risiko bencana alam, termasuk banjir.

Memang, rendahnya kesadaran berasuransi dan penetrasi asuransi di Indonesia yang masih di bawah 3%, menjadi tantangan besar buat industri ini. Banyak masyarakat masih menganggap asuransi sebagai beban tambahan, bukan sebagai bentuk perlindungan investasi. Padahal, peran asuransi sangat krusial dalam menjaga stabilitas ekonomi dan keuangan masyarakat. Asuransi bukan hanya melindungi individu, tetapi juga memiliki dampak signifikan terhadap perekonomian secara keseluruhan. Sebagai mitigasi risiko, asuransi membantu memperkuat ketahanan finansial, memungkinkan masyarakat dan pelaku usaha untuk pulih lebih cepat, termasuk paska bencana. Karena itulah, kesadaran ini urgen untuk dibangun secara berkelanjutan.

Berita baiknya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menginisiasi kebijakan asuransi wajib melalui Peta Jalan Pengembangan dan Penguatan Perasuransian Indonesia 2023-2027. Salah satu program strategisnya adalah terselenggaranya asuransi risiko bencana oleh industri perasuransian. Saat ini, program tersebut baru menyentuh asuransi wajib pihak ketiga (Third Party Liability/TPL) bagi pemilik kendaraan bermotor, menunggu hadirnya Peraturan Pemerintah (PP), sebagai payung hukum. Ke depan, skema ini diharapkan dapat mencakup asuransi wajib lainnya, termasuk asuransi banjir. Langkah ini, tentu perlu didukung bersama.

MEMBACA  Jadwal Bus AKAP dari Bali ke Pulau Jawa Kamis, 4 April 2024, Periksa Harga Tiket! Jadwal Bus AKAP dari Bali ke Pulau Jawa Kamis, 4 April 2024, Periksa Harga Tiket!

Belajar dari Negara Lain

Indonesia bisa mulai mencontoh langkah negara-negara lain dalam menangani risiko banjir melalui kebijakan asuransi wajib. Di Amerika Serikat misalnya, National Flood Insurance Program (NFIP) melindungi pemilik properti dari kerugian finansial akibat banjir. Inggris memiliki program Flood Re, hasil kemitraan antara pemerintah dan industri asuransi, yang bertujuan membuat premi asuransi banjir lebih terjangkau bagi masyarakat yang tinggal di daerah rawan.

Swiss telah menerapkan regulasi khusus terkait asuransi bencana alam sejak tahun 1993 di bawah pengawasan Otoritas Pengawas Pasar Keuangan Swiss (FINMA). Di Prancis, skema kompensasi bencana Cat-Nat, memungkinkan individu dan bisnis mendapatkan ganti rugi jika terkena dampak banjir. Bahkan di India, Otoritas Manajemen Bencana Nasional (The National Disaster Management Authority/NDMA), berperan dalam mengurangi risiko bencana melalui berbagai program mitigasi yang melibatkan masyarakat dan sektor swasta.

Indonesia bisa mengadopsi pendekatan serupa dengan memperkuat kemitraan antara pemerintah, industri asuransi, dan masyarakat melalui skema Public-Private Partnership (PPP). Namun pertanyaan berikutnya adalah, kapan ini mau dimulai? Pakar lingkungan dan ekonom Emil Salim menekankan bahwa sinergi antara kebijakan pemerintah dan peran swasta menjadi kunci dalam menghadapi dampak perubahan iklim, termasuk banjir. Edukasi mengenai pentingnya asuransi bencana juga harus ditingkatkan, dalam memunculkan kesadaran baru di masyarakat akan perlunya perlindungan finansial terhadap risiko bencana.

Banjir bukan lagi sekadar bencana alam yang datang tanpa peringatan. Suka atau tidak suka, ini adalah cerminan kegagalan kita dalam tata kelola lingkungan dan kebijakan mitigasi yang belum optimal. Saatnya untuk melakukan corrective actions! Asuransi banjir bisa menjadi satu solusi untuk memutus siklus kerugian yang terus berulang.

Seperti yang dikatakan Robert Glasser, mantan kepala United Nations Secretary for International Strategy for Disaster Reduction (UNISDR), bahwa kesiapan dalam menghadapi bencana adalah bentuk investasi jangka panjang yang bukan hanya melindungi perekonomian, tetapi juga menyelamatkan nyawa. Saatnya Indonesia mengambil langkah yang lebih konkret untuk melindungi masa depan dari ancaman banjir yang terus membayangi setiap tahun.

MEMBACA  Masyarakat harus lebih kritis untuk menghindari pengaruh hoax: Perludem

Halaman Selanjutnya

Berita baiknya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menginisiasi kebijakan asuransi wajib melalui Peta Jalan Pengembangan dan Penguatan Perasuransian Indonesia 2023-2027. Salah satu program strategisnya adalah terselenggaranya asuransi risiko bencana oleh industri perasuransian. Saat ini, program tersebut baru menyentuh asuransi wajib pihak ketiga (Third Party Liability/TPL) bagi pemilik kendaraan bermotor, menunggu hadirnya Peraturan Pemerintah (PP), sebagai payung hukum. Ke depan, skema ini diharapkan dapat mencakup asuransi wajib lainnya, termasuk asuransi banjir. Langkah ini, tentu perlu didukung bersama.

Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.