Jakarta (ANTARA) – Legislator nasional yang terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk periode 2024-2029 telah memulai diskusi tentang amandemen Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, atau TNI. Ini efektif menghidupkan kembali wacana tentang undang-undang tersebut dari periode sebelumnya. Yang menarik kali ini adalah bahwa DPR telah secara resmi mengumumkan penyusunan rancangan amandemen sebagai bagian dari Program Legislasi Nasional Prioritas 2025 (Prolegnas).
Ini berarti bahwa diskusi seputar RUU militer diharapkan akan selesai paling lambat tahun ini. Akibatnya, Komisi I DPR – yang mengawasi masalah terkait pertahanan, urusan luar negeri, komunikasi, dan intelijen – telah diberi tugas untuk memajukan proses amandemen. Hal ini terjadi meskipun komisi diminta untuk memprioritaskan penyusunan RUU untuk merevisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran.
Biasanya, wajib bagi sebuah komisi parlemen untuk menyelesaikan pekerjaan pada RUU yang diprioritaskan sebelum beralih ke RUU lain. Namun, DPR setuju untuk menjadikan RUU Militer sebagai prioritas dalam rapat pleno pada 18 Februari 2025. Sejak saat itu, Komisi I telah mengadakan pertemuan dengan para ahli, akademisi, dan organisasi masyarakat untuk mengumpulkan pandangan dan saran mengenai RUU TNI.
RUU tersebut bertujuan untuk merevisi tiga pasal hukum militer yang berkaitan dengan posisi TNI, usia pensiun prajurit, dan posisi sipil untuk perwira aktif militer. Hal ini, tidak mengherankan, telah memicu kekhawatiran publik tentang kemungkinan munculnya kembali peran ganda militer, yang terkait dengan keterlibatan aktif perwira militer dalam lembaga negara sipil.
Upaya untuk merevisi Undang-Undang TNI telah mengingatkan bangsa ini pada praktik yang terjadi selama Era Orde Baru di bawah presiden kedua Indonesia, Soeharto. Ketakutan yang dihidupkan kembali ini sebagian berasal dari laporan bahwa draf RUU TNI memiliki ketentuan yang memungkinkan presiden untuk menunjuk prajurit ke posisi sipil sesuai keinginannya.
Laporan-laporan yang belum dikonfirmasi ini beredar selama periode legislasi sebelumnya, selama masa jabatan presiden ketujuh Joko Widodo. Selama pertemuan dengan Komisi I pada 11 Maret 2025, Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin menyarankan agar revisi Undang-Undang TNI mencakup perluasan posisi sipil yang berhak dipegang oleh prajurit aktif.
Namun, penting untuk dicatat bahwa saran tersebut sebagian besar menganjurkan peningkatan jumlah pos yang tersedia di lembaga sipil di sektor keamanan dan hukum untuk prajurit. Dalam Undang-Undang TNI yang ada, bangsa ini agak terbiasa melihat prajurit bekerja di sektor-sektor ini, yang pada dasarnya terkait dengan bidang keahlian mereka.
Ketuhanan sipil dan profesionalisme militer
Pasal 48 Undang-Undang TNI memungkinkan prajurit aktif menjabat di 10 lembaga sipil, termasuk Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan dan Kementerian Pertahanan. Lembaga-lembaga tersebut juga termasuk Sekretariat Militer Presiden, Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), dan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas).
Mereka juga mencakup Dewan Pertahanan Nasional, Badan SAR Nasional (Basarnas), Badan Narkotika Nasional (BNN), dan Mahkamah Agung. Sjamsoeddin telah menyarankan perluasan ketentuan tersebut untuk mencakup pos di Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Keamanan Laut (Bakamla), dan Kejaksaan Agung.
Sejak berdirinya, BNPT, BNPB, dan Bakamla memiliki perwira TNI aktif di posisi struktural. Misalnya, Letnan Jenderal Suharyanto saat ini memimpin BNPB. Sementara itu, prajurit aktif mulai menjabat di Kejaksaan Agung setelah amendemen tahun 2021 terhadap Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, yang memungkinkan perwira TNI menjabat sebagai Wakil Jaksa Agung Bidang Tindak Pidana Militer.
Namun, wakil ketua Komisi I, Dave Laksono, mengkonfirmasi bahwa DPR telah memutuskan untuk menolak usulan untuk memungkinkan prajurit aktif melayani di Kementerian Kelautan dan Perikanan. Mengingat bahwa perwira TNI menempati posisi di tiga lembaga tersebut, dapat disimpulkan bahwa RUU Militer pada dasarnya bertujuan untuk mengformalkan pelayanan mereka daripada memperluas cakupan keterlibatan prajurit dalam urusan sipil, seperti yang ditakuti oleh sebagian pihak.
Pandangan ini dikonfirmasi oleh Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad yang menjelaskan bahwa draf revisi RUU hanya akan mengatur praktik yang ada di lembaga-lembaga sipil ini. Sambil menjamin ketuhanan sipil dalam revisi Undang-Undang TNI, ia mengatakan bahwa meningkatnya sentimen publik terhadap peran ganda militer disebabkan oleh kurangnya kejelasan seputar formulasi RUU.
Sementara itu, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto telah memberitahu legislator di Komisi I bahwa, meskipun ia menganggap amendemen tersebut perlu, ia dapat menjamin bahwa TNI akan tetap berkomitmen untuk menjaga batas antara ranah sipil dan militer. Hal ini akan dilakukan dengan mematuhi prinsip ketuhanan sipil dan profesionalisme militer dalam menjalankan tugas utamanya, katanya.
Penyusunan RUU terus berlanjut, dengan DPR memutuskan untuk membawa program legislasi prioritas ke rapat pleno untuk lebih lanjut dibahas pada level yang lebih tinggi. Menurut rencana, rapat tersebut dijadwalkan pada hari Kamis (20 Maret 2025).
Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa RUU hampir siap untuk menjadi undang-undang, dengan waktu menjadi satu-satunya kendala yang tersisa, terutama karena Presiden Prabowo Subianto telah menyetujui penyusunan RUU tersebut. Wakil Ketua Komisi I Utut Adianto mengonfirmasi hal ini setelah bertemu dengan kepala negara pada hari Rabu, mengatakan bahwa Presiden Prabowo tidak keberatan dengan perubahan yang diusulkan pada Undang-Undang TNI.
Berpikir positif tentang RUU
Tanah air Indonesia tanpa ragu berutang banyak kepada militer dan prajuritnya yang secara konsisten telah menunjukkan kekuatan dan dedikasi mereka untuk melindungi integritas nasional. Pada akhir September 1965, misalnya, militer, yang saat itu disebut ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), memainkan peran penting dalam membela bangsa dari pemberontakan berdarah yang dimulai oleh sebuah partai Komunis yang kini telah bubar yang berusaha untuk meruntuhkan ideologi Pancasila yang menjadi dasar Indonesia.
Dari waktu ke waktu, militer juga memainkan peran kunci dalam menjaga kesatuan negara di tengah gerakan separatis yang beragam. Namun, akan tidak bijaksana bagi bangsa ini untuk mengabaikan kebutuhan untuk membatasi keterlibatan prajurit aktif dalam lembaga-lembaga sipil dan urusan yang tidak terkait dengan fungsi utama mereka.
Tuntutan ketuhanan sipil akhirnya menyebabkan pengunduran diri Presiden Soeharto pada tahun 1998, menandai berakhirnya Era Orde Baru dan dimulainya Era Reformasi. Perubahan ini menghapuskan hak-hak militer untuk menjabat di lembaga-lembaga sipil, termasuk parlemen.
Adalah wajar bagi para pembuat kebijakan pada saat ini untuk belajar dari dan mempertimbangkan dinamika militer-sipil ini ketika membentuk peran strategis TNI, sambil tetap menjadikan kepentingan nasional sebagai prioritas. Oleh karena itu, penyusunan RUU TNI harus memastikan bahwa militer tetap berada dalam ranah yang diberikan pada Era Reformasi ini.
Revisi harus dengan jelas menetapkan bahwa personel militer aktif yang bertugas di situasi sipil akan terikat pada aturan, peraturan, dan ketentuan administratif yang berlaku di lembaga tempat mereka ditempatkan. Sangat penting bagi DPR, dalam menyusun RUU, untuk memperhatikan suara rakyat dan mendengarkan tuntutan mereka terhadap TNI yang lebih handal dan profesional yang tetap berada di bawah kontrol pemerintahan sipil.
Dengan demikian, RUU TNI dapat membantu militer memperkuat kehadirannya dalam masyarakat dan memperkuat peranannya dalam melindungi negara tanpa mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi dan ketuhanan sipil yang dianut oleh bangsa ini.
Berita terkait: DPR menyetujui diskusi lanjutan tentang RUU Militer dalam rapat pleno
Berita terkait: Parlemen menjamin ketuhanan sipil dalam revisi undang-undang militer
Editor: Rahmad Nasution
Copyright © ANTARA 2025