Jakarta (ANTARA) – Salah satu indikator kunci sering kali terabaikan dalam diskusi publik tentang keadilan ekonomi: apakah setiap individu, tanpa memandang latar belakang geografis, jenis kelamin, tingkat pendidikan, atau pendapatan, menikmati akses yang sama ke layanan keuangan.
Ini adalah inti dari inklusi keuangan, sebuah agenda yang mencakup tidak hanya angka statistik tetapi juga keadilan sosial dan pembangunan etis.
Indonesia International Financial Inclusion Summit (IFIS) 2025, yang diselenggarakan pada 6 Mei, adalah cerminan kesadaran kolektif untuk menjadikan inklusi keuangan sebagai jalan menuju Indonesia yang setara.
Komitmen pemerintah Indonesia, seperti yang disampaikan oleh Deputi Koordinasi Perdagangan dan Ekonomi Digital di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Ali Murtopo Simbolon, sangat penting dalam konteks ini.
Beliau menekankan bahwa IFIS 2025 harus lebih dari sekadar forum diskusi. Harus berfungsi sebagai platform untuk mempercepat inklusi keuangan dan membuka jalan untuk menyelesaikan berbagai masalah yang mencegah warga Indonesia mengakses layanan keuangan yang mereka butuhkan.
Salah satu isu kunci yang dibahas adalah pengembangan infrastruktur digital publik yang dapat mempercepat inklusi keuangan, terutama di kalangan kelompok paling rentan.
Digelar oleh Tony Blair Institute for Global Change dan Gates Foundation serta didukung oleh pemerintah Indonesia, forum ini berfungsi sebagai ruang pertemuan lintas sektor untuk secara serius memeriksa tantangan, peluang, dan jalur bagi sistem keuangan yang inklusif.
Namun, inklusi keuangan lebih dari sekadar memiliki rekening bank atau kartu ATM. Pada intinya, ini adalah hak fundamental bagi warga negara dalam sistem ekonomi modern.
Tanpa akses ke layanan keuangan formal, rekening tabungan, asuransi, kredit, dan investasi, individu akan lebih rentan terhadap krisis, menghadapi tantangan yang lebih besar dalam mengembangkan bisnis, dan berisiko jatuh ke dalam kemiskinan.
Inilah mengapa inklusi keuangan adalah masalah keadilan.
Peningkatan tingkat inklusi keuangan nasional, yang kini mencapai 76,3 persen untuk kepemilikan rekening dan 88,7 persen untuk penggunaan layanan keuangan formal, patut diapresiasi.
Berita terkait: Upaya inklusi keuangan pemerintah fokus pada tujuh kelompok
Perspektif baru
Namun, di luar itu, angka-angka perlu dibaca dengan jelas: siapa yang masih tidak terjangkau? Di daerah mana kesenjangan masih lebar? Apakah akses yang tersedia benar-benar telah memenuhi kebutuhan dan kapabilitas kelompok yang dilayani?
IFIS 2025 menyediakan ruang untuk membahas pertanyaan-pertanyaan ini.
Direktur Senior Global untuk Inovasi Pemerintah & AI dari Tony Blair Institute for Global Change, Barbara Ubaldi, menawarkan perspektif yang relevan. Beliau menekankan bahwa akses keuangan bertindak sebagai perlindungan sosial di masa krisis.
Pandemi COVID-19 telah membuktikan bahwa mereka yang kekurangan dana darurat atau akses ke kredit mikro terpaksa menjual aset produktif hanya untuk bertahan hidup.
Oleh karena itu, inklusi keuangan yang tangguh harus diintegrasikan dengan perlindungan sosial dan kesiapan menghadapi guncangan ekonomi.
Inilah mengapa diperlukan pandangan baru. Inklusi keuangan bukan hanya bagian dari sistem ekonomi tetapi juga komponen dari sistem ketahanan nasional.
Strategi digitalisasi juga menjadi topik utama dalam forum ini. Memanfaatkan infrastruktur digital publik bukan hanya solusi untuk efisiensi tetapi merupakan sarana untuk mendemokratisasi akses.
Namun, digitalisasi yang terburu-buru tanpa kesadaran inklusivitas dapat memperburuk ketimpangan.
Oleh karena itu, inovasi digital harus didasarkan pada realitas masyarakat, ketersediaan gadget, literasi digital, dan bahasa yang digunakan dalam aplikasi keuangan.
Inklusi digital yang sejati berarti menyediakan saluran digital sambil memastikan tidak ada yang tertinggal.
Tidak terlupakan, IFIS 2025 juga menempatkan pemberdayaan perempuan sebagai fokus diskusi.
Perempuan, terutama di desa dan daerah tertinggal, sering berada di garis depan manajemen ekonomi rumah tangga tetapi memiliki akses yang lebih sedikit ke layanan keuangan.
Ketika perempuan memiliki akses ke kredit, asuransi, dan instrumen investasi, dampaknya adalah berlipat ganda. Ini tidak hanya akan memperkuat ketahanan ekonomi rumah tangga tetapi juga memutus rantai kemiskinan dari generasi ke generasi.
Terlebih lagi, inklusi keuangan harus disertai dengan literasi. Tanpa pemahaman yang memadai, masyarakat berisiko jatuh ke dalam pinjaman online ilegal, penipuan investasi, atau perilaku konsumtif yang tidak sehat.
Berita terkait: Buka rekening bank dukung inklusi keuangan, warga diminta
Akselerasi inklusi
Penyelenggaraan Indeks Akses Keuangan Regional (IKAD) dalam forum ini merupakan langkah strategis untuk menyelaraskan visi pemerintah pusat dengan dinamika regional.
Dengan IKAD, diharapkan peran Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD) diperkuat untuk mengidentifikasi kebutuhan dan hambatan di wilayah.
Kepala Eksekutif Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Pendidikan, dan Pengawasan Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Friderica Widyasari Dewi, menyatakan bahwa 552 TPAKD yang terbentuk di semua provinsi, kabupaten, dan kota di Indonesia adalah kunci untuk mencapai misi Asta Cita dan visi Indonesia Emas 2045.
Hal ini penting karena inklusi yang sejati menuntut pendekatan terdesentralisasi, sensitif konteks yang menghormati kearifan lokal dan menghindari model one-size-fits-all.
Perspektif baru yang perlu dibangun bersama adalah melihat inklusi keuangan sebagai jembatan peradaban.
Ini bukan hanya alat untuk transaksi tetapi juga sarana untuk membangun martabat. Dalam sistem ekonomi yang manusiawi, akses keuangan adalah simbol pengakuan bahwa setiap warga negara berhak merencanakan masa depan, bukan hanya bertahan hidup dari hari ke hari.
Dengan demikian, ketika suatu negara menginvestasikan pada inklusi keuangan, pada dasarnya ia sedang membangun kembali kontrak sosial yang lebih adil antara negara dan warganya.
IFIS 2025 bukanlah perayaan kesuksesan tetapi lebih merupakan pengingat dari tugas-tugas besar yang harus ditangani.
Divide digital, bias gender, literasi keuangan rendah, dan dominasi sistem keuangan yang masih terlalu berorientasi pada kota-kota besar harus ditangani bersama-sama.
Visi Indonesia Emas 2045 harus dikejar tidak hanya dengan pertumbuhan ekonomi tetapi juga dengan akses yang sama, layanan yang adil, dan keterlibatan semua warga dalam sistem ekonomi yang inklusif.
Tantangannya ke depan adalah menghindari jebakan eksklusivitas baru dalam suatu sistem yang mengklaim inklusif. Karena inklusi yang hanya berbicara tentang angka tanpa makna nyata hanya akan menyembunyikan ketidaksetaraan dengan statistik yang menyesatkan.
Pada akhir hari, inklusi keuangan mencerminkan sejauh mana kita dapat berbagi kekuatan ekonomi dengan mereka yang sering terpinggirkan.
IFIS 2025 telah membuka ruang untuk diskusi ini. Sekarang, saatnya untuk gerakan bersama. Tidak ada pembangunan yang adil tanpa keuangan inklusif.
Berita terkait: OJK Indonesia meningkatkan inklusi keuangan di wilayah pedesaan
Editor: Rahmad Nasution
Hak Cipta © ANTARA 2025