Lima Pasal dalam RUU Perampasan Aset Menuai Sorotan karena Berpotensi Multi Tafsir

Selasa, 16 September 2025 – 21:22 WIB

Jakarta, VIVA – Guru Besar Universitas Negeri Makassar, Harris Arthur Hedar, menyatakan ada 5 pasal dalam Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset yang dianggap kontroversial dan bisa ditafsirkan dengan berbagai cara.

Hal ini disampaikannya terkait RUU Perampasan Aset yang disebut-sebut sebagai senjata andalan negara untuk memerangi korupsi dan kejahatan luar biasa.

“RUU ini punya tujuan yang bagus. Tapi ada 5 Pasal yang perlu diperhatikan lagi. Soalnya, hukum bisa jadi malah menakut-nakuti daripada melindungi. Ini bisa bikin kepercayaan masyarakat pada hukum dan negara menurun. Sebelum disahkan, sebaiknya pasal-pasal itu diperbaiki dulu,” jelas Harris, Selasa 16 September 2025.

Harris mengatakan, Pasal 2 menyebut negara bisa merampas aset tanpa harus menunggu putusan pengadilan pidana. Masalahnya, ini bisa menggeser asas praduga tak bersalah. Akibatnya, pedagang atau pengusaha yang administrasi bukunya kurang bagus, kekayaannya bisa dianggap “tidak legal”.

“Begitu juga Pasal 3, yang bilang aset bisa dirampas meskipun proses pidana terhadap orangnya masih berjalan. Ini akan bikin dualisme antara hukum perdata dan pidana. Risikonya, masyarakat bisa merasa dihukum dua kali: asetnya diambil, sementara dirinya masih diadili,” jelas Wakil Ketua Umum DPN PERADI itu.

Selanjutnya, Pasal 5 ayat (2) huruf a, yang menyatakan perampasan bisa dilakukan jika jumlah harta dianggap “tidak seimbang” dengan penghasilan resmi. Masalahnya, frasa “tidak seimbang” ini sangat subjektif. Risikonya, seorang petani yang mewarisi tanah tanpa dokumen lengkap bisa dicurigai, karena asetnya dianggap lebih besar dari pendapatannya sehari-hari.

“Pasal 6 ayat (1) juga perlu dicermati. Aset yang nilainya minimal Rp100 juta bisa dirampas. Persoalannya, batas nominal ini bisa salah sasaran. Soalnya, seorang buruh yang beli rumah sederhana seharga Rp150 juta bisa kena, sementara penjahat bisa mengakali dengan memecah asetnya jadi di bawah Rp100 juta,” tegas Harris yang juga Wakil Rektor Universitas Jayabaya itu.

MEMBACA  Pembaruan Tragedi Longsor Gunung Kuda Cirebon: 17 Tewas, 8 Masih Hilang

Masih kata Harris, Pasal 7 ayat (1) menyatakan aset tetap bisa dirampas meskipun tersangka sudah meninggal, kabur, atau dibebaskan. Masalahnya, ini bisa merugikan ahli waris dan pihak ketiga yang bersikap baik. Risikonya, anak-anak bisa kehilangan satu-satunya rumah warisan karena orang tuanya pernah dituduh melakukan kejahatan.

“Yang juga penting untuk diperhatikan adalah prosedur perampasannya (blokir, sita, pembuktian), dimana disebutkan setelah aset disita, pihak yang tidak setuju harus membuktikan bahwa hartanya itu sah (pembalikan beban bukti). Ini kan membalikkan beban pembuktian ke masyarakat. Risikonya, masyarakat yang ga paham hukum bisa kehilangan aset karena tidak bisa menunjukkan dokumen formal,” paparnya.

Oleh karena itu, Harris menyarankan agar pembahas RUU memperjelas definisi pasal-pasal yang kontroversial itu. Mulai dari istilah “tidak seimbang”, yang harus punya ukuran yang objektif. Seperti laporan pajak, standar profesi, atau data ekonomi. Perlindungan untuk pihak ketiga dan ahli waris juga harus ditegaskan, bahwa harta orang yang bersikap baik tidak boleh dirampas.

“Begitu juga soal pembuktian. Itu harus tetap menjadi tanggung jawab aparat penegak hukum. Soalnya yang menuduh wajib membuktikan, bukan masyarakat. Termasuk harus ada putusan pengadilan yang independen sebagai syarat mutlak untuk perampasan, karena tidak boleh ada perampasan tanpa persetujuan hakim,” tegas pria yang juga seorang advokat itu.

Proses perampasan, menurutnya, juga harus transparan dan mengutamakan akuntabilitas publik. Jadi prosesnya harus terbuka, diawasi media dan masyarakat. Negara juga harus menyediakan bantuan hukum gratis, terutama untuk masyarakat kecil yang terdampak.

“Terakhir, sosialisasi dan literasi hukum harus dilakukan secara besar-besaran. Masyarakat harus diedukasi supaya tahu hak-haknya, jadi tidak mudah ditakuti-takuti. Soalnya seperti pedang bermata dua, masyarakat kecil bisa dikriminalisasi hanya karena administrasinya lemah. Sedangkan orang kaya bisa lindungi asetnya dengan pengacara dan dokumen,” tutupnya.

MEMBACA  Judul dalam Bahasa Indonesia: Perusahaan Tertekan Tarif Trump, Kini Sebagian Ingin Uang Mereka Kembali

Halaman Selanjutnya

Masih menurut Harris, Pasal 7 ayat (1) yang menyatakan aset tetap bisa dirampas meskipun tersangka meninggal, kabur, atau dibebaskan. Persoalannya hal ini bisa merugikan ahli waris dan pihak ketiga yang beritikad baik. Resikonya, anak-anak bisa kehilangan rumah warisan satu-satunya karena orang tuanya pernah dituduh tindak pidana.