Kamis, 17 Juli 2025 – 06:30 WIB
Jakarta, VIVA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan 17 masalah dalam Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).
Baca Juga:
Tak Hanya SD hingga SMA, DPRD Ingin Sekolah Madrasah Jakarta juga Gratis
Masalah ini terkait ketidaksesuaian RUU KUHAP dengan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Dalam diskusi internal KPK, ada 17 poin yang jadi catatan, dan ini masih terus dibahas,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu.
Baca Juga:
Seskab Cerita Prabowo Telepon Trump 17 Menit Sepakati Tarif Impor 19 Persen
Juru Bicara KPK Budi Prasetyo di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan
Budi menjelaskan, 17 masalah yang ditemukan adalah:
- Hilangnya sifat lex specialis atau kekhususan KPK dalam RUU KUHAP.
- Penanganan kasus KPK yang hanya bisa diselesaikan berdasarkan KUHAP.
- Penyelidik KPK tidak diakomodasi dalam RUU KUHAP, sementara penyelidik disebut hanya dari Polri dan diawasi Polri.
- Definisi penyelidikan dalam RUU KUHAP hanya mencari tindak pidana, sedangkan UU KPK mensyaratkan minimal dua alat bukti.
- Keterangan saksi sebagai alat bukti dalam RUU KUHAP hanya diakui saat penyidikan, penuntutan, atau sidang, sedangkan UU KPK mengakui sejak penyelidikan.
Baca Juga:
Sebagian Wilayah Spanyol Diprediksi Alami Gelombang Panas hingga 42 Derajat Celsius - Penetapan tersangka baru bisa dilakukan setelah ada dua alat bukti, sedangkan KPK bisa menetapkan sejak kasus naik status ke penyidikan.
- Penghentian penyidikan dalam RUU KUHAP wajib melibatkan Polri, sementara KPK bisa menghentikan secara independen dengan pemberitahuan ke Dewas KPK.
- Penyerahan berkas ke penuntut umum harus melalui Polri, sedangkan KPK bisa langsung melimpahkan ke penuntut KPK.
- Penggeledahan tersangka harus didampingi penyidik Polri dari daerah hukum setempat.
- Penyitaan harus izin Ketua PN, sementara UU KPK tak mensyaratkan izin.
Gedung KPK (Foto Ilustrasi)
- Penyadapan hanya bisa di tahap penyidikan dengan izin Ketua PN dan bersifat paksa, sedangkan KPK bisa menyadap sejak penyelidikan tanpa izin PN dan bersifat rahasia.
- Larangan bepergian ke luar negeri hanya untuk tersangka.
- Perkara korupsi tak bisa disidangkan selama praperadilan.
- Kewenangan KPK dalam kasus koneksitas tidak diatur dalam RUU KUHAP.
- Perlindungan saksi/pelapor hanya oleh LPSK, padahal KPK juga bisa memberikan perlindungan.
- Penuntutan di luar daerah hukum harus dengan pengangkatan sementara Jaksa Agung, sementara penuntut KPK bisa menuntut di seluruh Indonesia.
- Penuntut umum terdiri dari Kejaksaan dan lembaga lain, seharusnya termasuk pejabat KPK. (Ant)