Ketua MA Bicara Tentang Penghapusan Larangan Memperberat Vonis dalam RUU KUHAP

Jumat, 11 Juli 2025 – 22:52 WIB

Jakarta, VIVA – Ketua Mahkamah Agung (MA) Sunarto menanggapi revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menghilangkan Pasal 293 Ayat 3.

Baca Juga:
DPR Nilai RUU KUHAP Lebih Progresif, Atur Hak Tersangka Pilih Kuasa Hukum

Sunarto menjelaskan bahwa pembuatan rancangan undang-undang, terutama KUHAP, adalah wewenang DPR sebagai lembaga legislatif. Karena itu, MA akan melaksanakan apa pun yang diatur dalam UU.

“Mahkamah Agung cuma pengguna. Jadi kami akan jalankan apa yang ada di UU itu,” kata Sunarto di Gedung MA, Jakarta Pusat, Jumat, 11 Juli 2025.

Baca Juga:
Komisi III DPR Ungkap Alasan DIM RUU KUHAP Belum Bisa Diakses Publik

Dalam pembahasan, MA juga diminta memberi pendapat soal RUU KUHAP dan sudah menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).

Baca Juga:
Komisi III Tegaskan Aturan Penyadapan Tak Masuk RUU KUHAP

“Itu wewenang mutlak legislatif. MA tidak boleh ikut campur, kami hanya pengguna UU, bukan pembuat UU,” jelas Sunarto.

Sebelumnya, Komisi III DPR RI dan pemerintah sepakat hapus Pasal 293 Ayat 3 dalam RUU KUHAP.

Pasal 293 ayat (3) berbunyi: ‘Dalam hal Mahkamah Agung menjatuhkan pidana terhadap terdakwa, maka pidana tersebut tidak boleh lebih berat dari putusan judex factie’.

Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman mengatakan semua peserta rapat setuju usulan pemerintah untuk hapus larangan MA perberat vonis.

“Jadi DIM Pasal 293 Ayat 3 sudah dihapus. Tidak ada lagi aturan bahwa MA tidak boleh menjatuhkan hukuman lebih berat dari pengadilan sebelumnya,” ujarnya.

Habiburokhman menjelaskan, dengan dihapusnya pasal ini, MA bisa memberi vonis lebih berat atau ringan dari putusan sebelumnya dalam RUU KUHAP.

MEMBACA  Anda dapat Memasang Ponsel Anda ke dalam Kontroler Game Baru yang Mewah dari Razer

“MA tetap bisa menjatuhkan hukuman sesuai keyakinan, apakah lebih berat atau tidak dari pengadilan sebelumnya,” kata politisi Gerindra itu.

Halaman Selanjutnya
Pasal 293 ayat (3) berbunyi: ‘Dalam hal Mahkamah Agung menjatuhkan pidana terhadap terdakwa, maka pidana tersebut tidak boleh lebih berat dari putusan judex factie’.