Kemerdekaan Palestina: Keniscayaan di Tengah Berbagai Desakan

Jakarta (ANTARA) – Pengakuan Palestina sebagai negara merdeka kini semakin dekat untuk terwujud, meski jalan menuju kedaulatan masih terjal dan penuh tantangan.

Pada 12 September 2025, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi Deklarasi New York yang menekankan solusi dua negara antara Israel dan Palestina.

Dokumen tersebut, yang berjudul “Deklarasi New York tentang Penyelesaian Damai Masalah Palestina dan Penerapan Solusi Dua Negara,” adalah draf dokumen hasil konferensi internasional di PBB yang dihost oleh Arab Saudi dan Prancis pada Juli 2025.

Deklarasi New York, diadopsi dengan dukungan 142 dari 193 negara anggota PBB, 10 menolak, dan 12 abstain, menekankan pentingnya penyelesaian damai yang menghargai hak-hak Palestina, sekaligus menolak kekerasan dari pihak manapun, termasuk kelompok Hamas.

Deklarasi itu juga menekankan perlunya pemerintah Palestina yang bebas dari pengaruh Hamas, serta dukungan internasional untuk membangun kapasitas pemerintahan yang efektif.

Deklarasi itu juga mengusulkan pengiriman misi stabilitas internasional sementara di Gaza untuk memastikan keamanan dan mendukung rekonstruksi.

Meski resolusi ini tidak mengikat, pengesahannya mencerminkan konsensus global yang kuat dan mendorong negara lain untuk mengakui Palestina sebagai negara merdeka.

Implementasi Deklarasi New York dan pengakuan negara Palestina kemungkinan akan menemukan momentum untuk dibahas lebih konkret dalam serangkaian acara PBB di New York yang berlangsung pada 9-30 September 2025, termasuk Pekan Tingkat Tinggi Majelis Umum PBB pada 22-27 September 2025.

Sejumlah kepala negara dan kepala pemerintahan dari berbagai negara dipastikan hadir, termasuk Presiden Indonesia, Presiden Prancis, Perdana Menteri Inggris, serta delegasi dari negara-negara yang telah menyatakan niat untuk mengakui Palestina, seperti Irlandia, Spanyol, Swedia, Norwegia, Slovenia, Malta, dan Portugal.

Menurut sumber resmi PBB, kehadiran para pemimpin tersebut menjadi momen penting untuk membahas implementasi Deklarasi New York, pengakuan negara Palestina, dan langkah-langkah konkret menuju gencatan senjata dan rekonstruksi Gaza.

Namun, perjuangan untuk kedaulatan Palestina tidaklah mudah. Sejak Oktober 2023, Amerika Serikat (AS) telah memveto enam resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan gencatan senjata di Gaza.

Veto terakhir terjadi pada 18 September 2025, ketika AS memblokir resolusi yang didukung oleh 14 dari 15 anggota DK PBB, yang menyerukan gencatan senjata permanen tanpa syarat dan pembebasan sandera.

MEMBACA  Penembak 2 Anggota Brimob hingga Tewas di Puncak Jaya Papua Tengah adalah Kelompok Kriminal Bersenjata Ternus Enumbi

AS beralasan bahwa resolusi tersebut tidak cukup mengutuk Hamas dan tidak menegaskan hak Israel untuk membela diri.

Kontroversi Netanyahu

Di tengah tekanan global, posisi pemimpin Israel Benjamin Netanyahu semakin kontroversial. Keputusannya semakin menjauhkannya dari penerapan solusi dua negara.

Konsep Israel Raya yang dipromosikannya dan dengan dalih membela diri dari serangan teror, telah mengakibatkan hancurnya infrastruktur Palestina, merosotnya perekonomian, kolapsnya sistem kesehatan, dan terus berjatuhannya korban jiwa sipil akibat perang.

Blokade Israel selama berbulan-bulan telah meluluhlantakkan Jalur Gaza, membuat lebih dari satu juta penduduk berisiko kelaparan dan anak-anak Gaza menjadi generasi yang hilang.

Laporan WHO dan UNRWA menyatakan rumah sakit dan pusat kesehatan tidak dapat beroperasi, sementara krisis gizi pada anak meningkat secara drastis.

Lebih dari 65.000 warga Palestina tewas dan 161.000 lainnya luka-luka di Gaza dan Tepi Barat akibat serangan besar-besaran dan pemboman terus-menerus oleh tentara Israel.

Di sisi lain, Netanyahu (75) terus menerima tekanan internasional akibat perang di Gaza serta kritik dari dalam negeri.

Gelombang protes dari warga Israel yang menuduh pemerintahannya gagal melindungi warganya dan memperpanjang perang Gaza, ditambah dengan kasus korupsi yang membayangi, membuat ketua partai Likud yang berkuasa itu berada di bawah tekanan politik yang semakin besar.

Pendapat yang menentang Netanyahu juga semakin menguat. Sebagian warga Israel memandangnya sebagai pemimpin yang tegas dalam menghadapi ancaman eksternal.

Sementara, kelompok lain percaya bahwa kebijakan militer dan politiknya telah memperburuk situasi kemanusiaan, meningkatkan tekanan sosial, dan menciptakan risiko isolasi diplomatik.

Protes, kritik, dan gugatan hukum menambah kompleksitas politik dalam negeri, mendorong Netanyahu untuk mengambil keputusan agresif terhadap kawasan sekitarnya.

Langkah Netanyahu untuk memperluas konflik ke negara-negara tetangga seperti Suriah, Lebanon, Iran, Yaman, dan Qatar dilihat sebagai kombinasi dari tekanan pribadi dan strategi politik untuk mengalihkan perhatian publik domestik dari kegagalan internal.

Dari perspektif psikologi politik, seorang pemimpin yang lelah dan stres cenderung membuat keputusan emosional.

Serangan ke luar negeri bukan hanya strategi militer, tetapi juga bentuk komunikasi politik untuk menegaskan citra pemimpin “tangguh” yang menghadapi musuh eksternal.

MEMBACA  S&P Turunkan Peringkat Prancis di Tengah 'Fragmentasi Politik'

Namun, konsekuensinya sangat besar, terutama bagi warga sipil Palestina, serta ketidakstabilan yang lebih luas di kawasan.

Di sisi lain, dukungan AS merupakan faktor kunci dan “surga nyaman dan bebas” bagi Netanyahu.

AS menganggap Israel sebagai sekutu strategis di Timur Tengah. Israel menjaga kepentingan AS di kawasan vital yang menjadi jalur energi internasional dan titik pusat persaingan global.

Netanyahu menggunakan dukungan AS sebagai tameng dan alat legitimasi domestik.

Di tengah protes dalam negeri di Israel terhadap reformasi peradilan dan kebijakan keras terhadap Palestina, ia menampilkan diri sebagai pemimpin yang berhasil mempertahankan hubungan strategis dengan AS.

Dengan cara ini, Netanyahu mengalihkan perhatian rakyat Israel dari krisis internal ke isu keamanan nasional.

Tindakan Netanyahu dan dukungan AS secara bersamaan menggambarkan paradoks politik di Timur Tengah: seorang pemimpin dengan dukungan domestik yang rapuh tetapi memiliki kebebasan untuk berperang berkat dukungan negara adidaya AS.

Sementara itu, rakyat Palestina terus menjadi korban dari kombinasi ambisi politik dan kalkulasi geopolitik.

Lobi Israel yang Kuat di AS

Lobi pro-Israel yang kuat, termasuk American Israel Public Affairs Committee (AIPAC), mempengaruhi kebijakan luar negeri Washington, sehingga dukungan untuk Israel datang dari Demokrat maupun Republik.

Narasi ideologis AS memposisikan Israel sebagai benteng demokrasi di tengah Timur Tengah yang dipandang otoriter. Hal ini memperkuat pembenaran moral untuk memberikan perlindungan politik dan militer.

Alhasil, meski ada kritik dari Gedung Putih, Israel terus menerima pasokan senjata, perlindungan diplomatik di PBB, dan dukungan finansial, memungkinkan Israel untuk melanjutkan operasi militernya di Gaza bahkan memperluas serangannya ke sejumlah negara tetangga.

Selain itu, dukungan bipartisan di AS juga membuat upaya apa pun untuk menekan Israel hampir selalu gagal. Kongres sering menyetujui paket bantuan militer miliaran dolar tanpa perlawanan berarti.

Ini menciptakan siklus di mana Israel merasa aman untuk mengabaikan tekanan internasional, karena tahu bahwa AS akan terus memberikan perlindungan di forum multilateral seperti DK PBB.

Sementara itu, komunitas internasional semakin vokal dalam mengkritik kebijakan Israel.

MEMBACA  Judul yang Diperbarui dalam Bahasa Indonesia: "Ahmad Dhani Izinkan Lagu Dewa 19 Diputar di Restoran, Tapi Tetap Wajib Minta Izin Secara Profesional"

Uni Eropa terpecah antara negara-negara yang ingin menekan Israel dengan embargo senjata dan sanksi ekonomi, dan lainnya yang tetap hati-hati karena masalah perdagangan dan keamanan.

Namun, tekanan publik di banyak negara Barat, termasuk protes besar di London, Paris, Berlin, Amsterdam, Madrid, dan bahkan Washington sendiri, mulai membentuk arus opini publik baru yang lebih simpatik kepada Palestina.

Negara-negara Global Selatan, termasuk Indonesia, Malaysia, Pakistan, Rusia, Cina, India, Afrika Selatan, dan Brasil, serta sejumlah negara lainnya, meningkatkan diplomasi untuk menekan Israel.

Dukungan dari negara-negara Arab semakin konsisten, khususnya melalui forum Liga Arab, Dewan Kerja Sama Teluk, dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).

Beberapa negara Eropa bahkan mempertimbangkan pengakuan resmi negara Palestina sebagai jalan keluar dari kebuntuan politik yang berkepanjangan.

Masa Depan Palestina

Meski tantangan tetap signifikan, pengakuan internasional terhadap Palestina kini semakin kuat. Dukungan luas dari Asia, Afrika, Amerika Latin, Australia, dan Eropa menjadikan isu Palestina bukan hanya isu Timur Tengah, tetapi global.

Jika tren pengakuan ini berlanjut, Palestina memiliki peluang kuat untuk mendapatkan keanggotaan penuh di PBB.

Hal ini akan memperkuat posisi diplomatiknya dalam perundingan dengan Israel dan membukanya untuk akses yang lebih besar terhadap bantuan ekonomi dan pembangunan internasional.

Namun, kuncinya tetap pada perubahan sikap AS. Selama Washington terus memberikan perlindungan politik dan militer kepada Israel, jalan menuju solusi dua negara akan berliku dan penuh drama.

Tekanan dari opini publik AS, pemilihan mendatang, dan dinamika politik domestik Israel sendiri diperkirakan akan menjadi faktor penentu dalam arah masa depan.

Sejarah menunjukkan bahwa tidak ada kekuatan yang dapat bertahan menindas selamanya, seperti halnya dengan runtuhnya apartheid di Afrika Selatan. Perjuangan rakyat Palestina untuk merdeka pada akhirnya akan menemukan jalannya.

Dunia kini semakin sadar bahwa Palestina yang merdeka bukan hanya aspirasi, tetapi kebutuhan sejarah yang tidak terelakkan.

Berita terkait: [Tautan berita terkait pertama]
Berita terkait: [Tautan berita terkait kedua]
Berita terkait: [Tautan berita terkait ketiga]

Penerjemah: Primayanti, Katriana
Editor: Azis Kurmala
Copyright © ANTARA 2025