‘Inikah yang Kita Inginkan,’ sebuah panggilan untuk bangun bagi industri musik

Jakarta (ANTARA) – Dalam tindakan protes yang mencolok, lebih dari seribu musisi asal Inggris, termasuk Kate Bush, Annie Lennox, Cat Stevens, dan Damon Albarn, merilis album bisu yang disebut Is This What We Want? pada 25 Februari 2025.

Koleksi 12 lagu ini—yang juga mendapat dukungan dari Billy Ocean, Ed O’Brien dari Radiohead, Dan Smith dari Bastille, serta Jamiroquai—menampilkan rekaman suara studio dan tempat pertunjukan yang kosong.

Dan pesan yang disampaikannya sangat kuat: “Pemerintah Inggris tidak boleh melegalkan pencurian musik demi keuntungan perusahaan AI.”

Gerakan “Is This What We Want?” muncul sebagai respons langsung terhadap Rencana Aksi Kesempatan AI pemerintah Inggris, yang diungkapkan pada akhir 2024.

Bertujuan untuk menjadikan Inggris sebagai kekuatan AI, rencana tersebut mengusulkan pelonggaran pembatasan hak cipta, memungkinkan perusahaan AI untuk menggunakan materi yang diakses secara sah—seperti lagu, lirik, dan rekaman—untuk tujuan pelatihan.

Para musisi dan pemimpin industri telah mengecam hal ini sebagai “pencurian yang dilegalkan,” dengan argumen bahwa hal tersebut merusak hak kekayaan intelektual para pencipta.

Gerakan ini mencerminkan perdebatan global yang lebih luas tentang implikasi AI bagi industri musik, mengangkat pertanyaan kritis tentang kreativitas, kepemilikan, dan keadilan.

Protes ini beresonansi dengan kegelisahan yang semakin meningkat di industri musik tentang sifat ganda AI.

Di satu sisi, AI menawarkan alat-alat transformasional. Pembuat lagu otomatis, penguasaan otomatis, dan daftar putar yang dipersonalisasi meningkatkan kreativitas dan aksesibilitas.

Beberapa studi telah menunjukkan peran signifikan yang bisa dimainkan oleh kecerdasan buatan (AI) dalam meningkatkan proses kreatif musisi, yang dapat memanfaatkan algoritma AI untuk menganalisis dan menghasilkan komposisi musik (Briot, 2019).

Temuan ini menyoroti potensi AI untuk meningkatkan dan mengubah proses pembuatan musik.

Dampak dari integrasi AI ke dalam musik tidak semuanya negatif.

Alat seperti MusicLM dari Google atau MusicGen dari Meta mengdemokratisasi penciptaan, memungkinkan amatir untuk menggubah dan profesional untuk bereksperimen.

Penggunaan AI oleh Paul McCartney untuk menghidupkan kembali suara John Lennon untuk lagu Beatles pada tahun 2023 memperlihatkan potensinya untuk menjembatani masa lalu dan sekarang.

Namun, inovasi-inovasi ini membawa pertanyaan etis. Bahkan Paul tampaknya sekarang menyesal atas keputusannya.

MEMBACA  Inilah Firman Pertama Allah SWT Sebelum Menciptakan Manusia

Ketika AI dilatih dengan musik berhak cipta tanpa izin, hal ini menimbulkan pertanyaan tentang kepemilikan dan kompensasi. Siapa yang memiliki musik yang dihasilkan oleh AI: pengembang, pengguna, atau tidak ada siapa-siapa?

Implikasi ekonominya signifikan. Industri musik Inggris, yang termasuk salah satu yang terbesar di dunia, khawatir bahwa AI yang tidak diatur dapat merugikan kontribusi tahunan sebesar £5 miliar ke ekonomi.

Di samping itu, risiko substitusi—di mana hasil keluaran AI menggantikan pekerjaan manusia—mengancam pekerjaan, memengaruhi penulis lagu hingga musisi sesi.

Transparansi adalah kekhawatiran lain: tanpa mengetahui data apa yang melatih sistem-sistem ini, pencipta tidak dapat memastikan penggunaan yang adil.

Gerakan “Is This What We Want?” oleh karena itu menuntut bukan penolakan terhadap AI, tetapi sebuah kerangka kerja di mana AI mendukung daripada menggantikan atau menghilangkan kreativitas manusia.

Hal ini merujuk ke KTT AI 2025, yang diadakan di Paris pada 10–11 Februari 2025. Di KTT, 60 negara, termasuk Perancis, Tiongkok, dan Jepang, menandatangani deklarasi tentang AI “inklusif dan berkelanjutan,” berkomitmen untuk standar etika yang memprioritaskan hak asasi manusia dan transparansi.

Inggris dan AS menolak, dengan alasan kekhawatiran tentang keterlaluan regulasi, yang tidak akan menguntungkan secara ekonomi.

Ini mengkhawatirkan meskipun KTT tersebut menghasilkan konsensus global bahwa manfaat AI—pertumbuhan ekonomi, inovasi—tidak boleh datang dengan mengorbankan keadilan.

Bagi industri musik, hal ini berarti kebijakan yang melindungi para pencipta sambil memaksimalkan potensi AI, sebuah model yang seharusnya diikuti dunia.

Saya telah berpendapat bahwa dunia yang terbagi dalam tata kelola AI bisa membahayakan perlunya pengembangan AI yang adil (The Jakarta Post, 20/02).

Secara global, UNESCO telah mengambil peran utama dalam mengatasi dilema-dilema ini. Rekomendasi tentang Etika Kecerdasan Buatan, yang diadopsi oleh 193 negara anggota pada tahun 2021, memberikan pedoman untuk penerapan AI yang etis.

Rekomendasi tersebut menekankan transparansi, akuntabilitas, dan nilai-nilai yang berpusat pada manusia, menekankan bahwa AI harus meningkatkan, bukan menggantikan, kontribusi manusia.

Dalam musik, hal ini berarti membedakan antara AI sebagai alat, misalnya, untuk membantu komposisi, dan sebagai pencipta, misalnya, untuk memastikan integritas hak cipta dan kompensasi yang adil.

MEMBACA  Pasar kerja: pendinginan lebih lanjut dapat menyebabkan lonjakan pengangguran yang lebih besar.

Pedoman UNESCO menganjurkan penandaan yang jelas untuk konten yang dihasilkan oleh AI dan mekanisme untuk menghindari kerugian, seperti model pembagian pendapatan.

Pada tahun 2024, UNESCO meluncurkan serangkaian inisiatif dan diskusi untuk mengatasi dampak AI pada sektor kreatif, termasuk musik, yang dibangun di atas Rekomendasi tentang Etika Kecerdasan Buatan tahun 2021.

Program-program tersebut melibatkan para ahli global, musisi, dan pembuat kebijakan dalam mengembangkan alat-alat praktis seperti sertifikasi AI yang etis dan pedoman untuk memastikan transparansi dan keadilan.

Fokus pada perlindungan kekayaan intelektual, itu mempromosikan persetujuan untuk penggunaan data dan model pendapatan yang adil bagi para seniman.

Proyek-proyek uji coba menguji aplikasi AI yang meningkatkan kreativitas sambil menjaga integritas budaya, memperkuat komitmen UNESCO terhadap transisi digital yang berpusat pada manusia di bidang musik dan di luar itu.

Rekomendasi tentang Etika Kecerdasan Buatan tahun 2021 mendorong negara-negara anggota untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip AI yang etis ke dalam kebijakan nasional, memastikan transparansi, keadilan, dan menghormati hak kekayaan intelektual di sektor-sektor seperti musik.

Anggota diwajibkan untuk menetapkan regulasi yang memerlukan persetujuan untuk penggunaan data AI, mempromosikan model pendapatan yang adil, dan menandai konten yang dihasilkan oleh AI untuk melindungi para pencipta.

Rekomendasi tersebut tidak mengikat, oleh karena itu, tidak ada konsekuensi hukum dari ketidakpatuhan. Sebaliknya, itu bergantung pada tekanan moral dan diplomatik.

Namun, kegagalan untuk bertindak akan menyebabkan kerusakan reputasi—kerugian ekonomi di pasar global yang mendukung AI etis—dan erosi budaya.

Keputusan Inggris untuk menolak dari deklarasi KTT AI 2025 di Paris sejalan dengan perubahan hukum hak cipta yang diusulkan, yang lebih memihak inovasi AI daripada regulasi AI yang adil dan seimbang, seperti yang tercermin dalam Deklarasi KTT AI.

Model opsi keluar ini mencerminkan sikap pro-industri yang bertentangan dengan seruan KTT untuk AI “inklusif dan berkelanjutan.”

Bagi industri musik Inggris, ini berisiko menetapkan preseden untuk basis data musik tanpa batas, memungkinkan eksploitasi AI yang tidak diatur. Jadi, apa konsekuensinya bagi Indonesia?

Indonesia, dengan penegakan hak cipta yang lebih lemah, bisa menghadapi kerugian ekonomi karena musik ditambang, memperbesar ketidakadilan global dalam hak cipta kreatif.

MEMBACA  Pemanfaatan Laser Mempermudah Pencarian Ranjau Darat yang Tersimpan

Undang-undang Hak Cipta 2014 menawarkan perlindungan, tetapi penegakannya kurang, dengan platform digital seringkali menyediakan konten tanpa lisensi.

Para musisi, terutama artis indie, sangat bergantung pada pertunjukan langsung karena royalti yang terbatas—suatu kerentanan yang terungkap selama pandemi COVID-19.

Selain itu, pemandangan musik yang beragam di Indonesia, yang menyatukan gamelan tradisional dengan pop modern dan dangdut, memberikan kontribusi yang signifikan terhadap identitas budaya.

Namun, tidak ada instrumen hukum untuk melindungi komposisi jika dengan cara tertentu, perusahaan AI memanfaatkannya untuk keuntungan komersial mereka sendiri.

Gerakan “Is This What We Want?” dan pedoman UNESCO memberikan pelajaran bagi Indonesia. Mereka menekankan perlunya mendesain ulang undang-undang hak cipta untuk mengatasi isu AI.

Pertama, Indonesia harus mengadopsi sistem opt-in, yang menuntut persetujuan eksplisit untuk AI menggunakannya materi berhak cipta, sejalan dengan norma internasional dan melindungi hak para pencipta.

Kedua, dana royalti—yang merujuk pada konsep serupa dengan proposal di Inggris—dapat memastikan kompensasi ketika AI memanfaatkan karya-karya yang sudah ada.

Ketiga, regulasi transparansi yang mewajibkan pengungkapan data pelatihan akan membangun kepercayaan dan akuntabilitas.

Reformasi-reformasi seperti ini dapat mengubah lanskap industri musik Indonesia. Proteksi yang diperkuat akan mendorong investasi dalam konten asli, memajukan ekonomi kreatif.

Dan, AI bisa menjadi mitra, bukan pemangsa, memungkinkan para seniman untuk berinovasi sambil melestarikan warisan budaya dan keaslian manusia.

Namun, implementasinya memerlukan kemauan politik, kolaborasi industri, dan kesadaran publik.

Ini adalah tantangan besar mengingat kompleksitas birokrasi Indonesia dan kesenjangan digital di negara yang besar ini.

*) Igak Satrya Wibawa adalah Duta Besar Indonesia dan Delegasi Tetap Deputi Indonesia untuk UNESCO serta dosen di Departemen Komunikasi & Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya

Pandangan dan pendapat yang terdapat dalam halaman ini adalah milik penulis dan tidak selalu mencerminkan kebijakan resmi atau posisi Badan Berita ANTARA.

Berita terkait: Indonesia advocates for ethical AI: Minister

Berita terkait: Indonesia eyes detailed national regulation on artificial intelligence

Hak Cipta © ANTARA 2025