Jakarta (ANTARA) – Indonesia harus bersiap menghadapi dampak dari konflik yang sedang berlangsung antara Iran dan Israel, peringatan seorang peneliti.
“Meski efeknya mungkin tidak langsung terasa, konflik ini bisa memicu ketidakstabilan ekonomi global—terutama di sektor energi, perdagangan, dan fiskal,” kata Ahmad Heri Firdaus, peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), pada Minggu.
Dalam forum publik INDEF tentang dampak perang Iran-Israel di Jakarta, Ahmad mencatat bahwa Iran memiliki cadangan minyak terbesar ketiga di dunia.
Gangguan pada pasokan minyaknya—terutama jika Selat Hormuz diblokir—bisa mendorong harga energi global naik tajam.
“Negara-negara pengimpor minyak seperti Jepang dan Eropa akan merasakan kenaikan pertama. Karena ekspor minyak Timur Tengah lebih besar ke China, India, dan Eropa, wilayah-wilayah itu akan lebih cepat terdampak dibanding Indonesia,” jelasnya.
Menggunakan model Global Trade Analysis Project (GTAP), Ahmad memproyeksikan konflik Iran-Israel bisa mengurangi pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,005 persen.
Angka ini mungkin terlihat kecil, tapi dampak tidak langsung bisa lebih parah—apalagi jika mitra dagang utama seperti China dan Jepang mengalami perlambatan lebih luas, dengan proyeksi kontraksi masing-masing 0,037 persen dan 0,048 persen.
Indonesia juga mungkin menghadapi penurunan impor komoditas penting, termasuk produk pertanian, makanan olahan, logam, tekstil, petrokimia, dan produk manufaktur berat. Kenaikan biaya produksi akibat harga minyak dan gas yang lebih tinggi bisa semakin melemahkan daya saing ekspor Indonesia.
Untuk mengurangi risiko ini, Ahmad mendesak pemerintah bertindak cepat—mulai dengan menstabilkan harga BBM dan LPG domestik melalui subsidi yang lebih kuat untuk melindungi daya beli dan mengendalikan inflasi.
Ia juga menyarankan diversifikasi sumber impor energi jauh dari zona konflik serta memperkuat kerja sama energi dengan negara-negara ASEAN, Australia, dan mitra stabil lainnya.
Langkah penting lain adalah memperluas dan mendiversifikasi rantai pasok industri. “Kita perlu mengurangi ketergantungan pada satu wilayah untuk bahan baku dan meningkatkan investasi hulu di sektor seperti pupuk, bahan bakar alternatif, dan barang setengah jadi,” ujarnya.
Terakhir, ia meminta pemerintah mengidentifikasi sektor paling rentan, terutama manufaktur dan pertanian, untuk memastikan perlindungan tepat sasaran dan stimulus yang tepat waktu.
Langkah-langkah ini penting untuk melindungi Indonesia dari keterpaparan yang lebih dalam terhadap gejolak ekonomi global, simpul Ahmad.
Reporter: Aditya Eko Sigit Wicaksono
Editor: M Razi Rahman
Hak Cipta © ANTARA 2025