Jakarta (ANTARA) – Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin berbagi pengalaman Indonesia dalam mendeteksi kasus tuberkulosis (TB) secara dini pada pertemuan ke-37 Stop TB Partnership (STP) yang diselenggarakan dari tanggal 6-8 Februari di Brasilia, Brasil.
“Sebelumnya, Indonesia hanya dapat mendeteksi hingga 500.000 kasus TB, namun jumlah ini turun menjadi sekitar 300.000 selama pandemi COVID-19,” ujar Sadikin dalam pernyataan tertulis dari Kementerian Kesehatan pada hari Minggu.
Ia mengatakan bahwa sistem deteksi dini TB di Indonesia sedang pulih dengan jumlah kasus TB yang terdeteksi mencapai 700.000 pada tahun 2022 dan 800.000 pada tahun 2023.
Sadikin mengungkapkan bahwa Indonesia berkomitmen untuk meningkatkan sistem deteksi dini TB hingga mencapai 900.000 pada tahun 2024 dari perkiraan 1 juta kasus TB di Indonesia agar semua pasien dapat mengakses pengobatan yang lebih optimal.
Selama pertemuan tersebut, ia juga menyatakan bahwa Indonesia, negara dengan beban kasus TB tertinggi kedua di dunia, berkomitmen untuk menyediakan pengobatan TB yang lebih singkat, memperkuat kerjasama dengan masyarakat, dan menerapkan inovasi pembiayaan layanan TB.
Sadikin mengatakan bahwa upaya mengeliminasi TB akan memiliki dampak positif pada pertumbuhan ekonomi Indonesia. Oleh karena itu, kementeriannya bekerja sama dengan masyarakat dan petugas kesehatan setempat untuk melakukan skrining terhadap 2,2 juta orang yang berisiko tinggi terkena TB.
“Kami melibatkan masyarakat untuk membentuk ‘Pasukan TBC’, kelompok terlatih dari penderita TB yang membantu dalam mendeteksi dan memantau pasien tuberkulosis multiresisten (MDR-TB),” katanya.
MDR-TB adalah jenis TB yang tahan terhadap obat anti-TB paling kuat. Ini berarti obat-obatan tersebut tidak lagi efektif dalam membunuh bakteri TB di tubuh pasien.
Indonesia juga mendorong inovasi dalam diagnosis tuberkulosis dengan memproduksi lima kit deteksi TB berbasis PCR yang digunakan oleh 1.000 laboratorium di Indonesia.
“Kami juga mempercepat penerapan pengobatan presisi dengan mendirikan inisiatif ilmu biomedis dan genomik yang meliputi sekuensing genom pada sampel MDR-TB untuk meningkatkan pengawasan,” katanya.
Sadikin menambahkan bahwa Indonesia juga memastikan pengobatan TB dapat diakses oleh semua orang. Indonesia adalah salah satu negara pertama di Asia yang menggunakan BPaL (bedaquiline, pretomanid, dan linezolid) dan BPaLM (bedaquiline, pretomanid, linezolid, dan moxifloxacin) dalam pengobatan MDR-TB.
Pengobatan ini dikenal sebagai rejimen oral jangka pendek untuk tuberkulosis resisten obat (DR-TB), yang membantu memperpendek pengobatan dari 9-11 bulan menjadi enam bulan dan tanpa suntikan.
Selain itu, Indonesia mendukung penelitian operasional mengenai potensi rejimen pengobatan yang lebih singkat untuk tuberkulosis sensitif obat (DS-TB).
Jika DR-TB membutuhkan pendekatan pengobatan yang lebih kompleks karena bakteri Mycobacterium tuberculosis tahan terhadap beberapa obat, DS-TB dapat diobati dengan rejimen standar. Namun, durasi pengobatan DS-TB saat ini masih sekitar 6-9 bulan.
Berita terkait: Indonesia dorong percepatan pengadaan vaksin TB terbaru
Berita terkait: Kementerian mengajak masyarakat aktif berpartisipasi dalam pencegahan TB
Terjemahan: Andi Firdaus, Cindy Frishanti Octavia
Editor: Anton Santoso
Hak cipta © ANTARA 2024