Daya Pikat Lipstik: Belanja Hadiah Diri di Tengah Tekanan Ekonomi

Jakarta (ANTARA) – Di tengah ketidakpastian ekonomi, orang-orang biasanya mengurangi pengeluaran untuk barang-barang mewah dan fokus pada kebutuhan pokok.

Namun, tren sebaliknya justru muncul, di mana pembelian kecil untuk kesenangan diri atau self-reward tetap kuat. Fenomena ini dikenal sebagai efek lipstik.

Efek lipstik merujuk pada konsep ekonomi di mana konsumen terus membeli barang-barang kecil yang memuaskan secara emosional, seperti kosmetik atau aksesori fashion, bahkan selama resesi ekonomi.

Alih-alih menabung sepenuhnya, banyak orang mencari kesenangan yang terjangkau sebagai cara untuk melarikan diri dari tekanan keuangan.

Kondisi ekonomi global masih menantang. PHK massal di berbagai sektor, kenaikan harga kebutuhan pokok, serta dampak perang dagang dan ketegangan kebijakan telah meningkatkan stres masyarakat.

Namun tren self-reward terlihat jelas, dengan individu-individu yang masih menghabiskan uang untuk nongkrong kopi, skincare, parfum, atau makan di luar setelah gajian, meski dengan perencanaan anggaran yang lebih hati-hati.

Mengutip data dari IDEAS-RePEc, penelitian ekonomi menunjukkan bahwa self-reward memainkan peran penting dalam menjaga motivasi pribadi.

Dalam ekonomi perilaku, self-reward membantu individu menghadapi tantangan pengendalian diri. Hadiah kecil, mulai dari permen atau kosmetik hingga buku atau peralatan olahraga, dapat mempertahankan motivasi di bawah tekanan hidup.

Misalnya, Wiwi Fatma (40), seorang wanita karier yang tinggal di Jakarta, menikmati mengoleksi hijab premium. Baginya, kenyamanan, kualitas, dan tampilan yang khas adalah bagian dari investasi pada diri sendiri.

“Saya tidak bisa memakai hijab yang murah. Kualitasnya berbeda. Lebih baik membeli yang lebih mahal dan tahan lama daripada yang lebih murah tapi terasa panas dan cepat rusak,” kata Fatma, yang juga seorang penggemar kebugaran.

Rata-rata, ia menghabiskan sekitar Rp 1,2 juta atau sekitar US$73 untuk membeli dua hingga tiga hijab pada acara-acara spesial seperti Lebaran.

MEMBACA  "Anggaran Pengadaan Mobil Dinas untuk Pejabat Meningkat, Eselon I Capai Rp931 Juta"

Memasuki usia 40-an, prioritasnya bergeser ke kesehatan. Ia kini rutin menghabiskan dua hingga tiga jam di gym dekat rumahnya, sebuah komitmen yang membutuhkan biaya signifikan.

Keanggotaan gym selama dua tahun menghabiskan biaya sekitar Rp 8,6 juta atau sekitar US$520, belum termasuk sesi pelatih pribadi: 50 sesi saja berharga sekitar Rp 12,45 juta atau sekitar US$750.

Ia juga mengonsumsi suplemen kesehatan seperti vitamin D3 K2, yang harganya sekitar Rp 1 juta untuk persediaan dua bulan.

Fatma sering meluangkan waktu untuk perjalanan self-healing, seperti menikmati alam dengan mendaki atau mengunjungi air terjun. Tergantung tujuannya, biayanya berkisar dari Rp 500.000 untuk perjalanan sehari ke Bogor hingga Rp 2 juta untuk perjalanan ke Gunung Bromo. Ia mengatakan melakukan perjalanan seperti itu hingga dua kali sebulan.

Baginya, pengeluaran ini bukanlah pemborosan tetapi investasi jangka panjang untuk kesehatan fisik, mental, dan istirahat yang sangat dibutuhkan dari rutinitas yang sibuk.

“Pergi jalan-jalan lebih tentang pengalaman. Saya membangun koneksi dan teman baru, sementara membeli barang memberi kepuasan dari penggunaan jangka panjang,” ujarnya.

Pandangan serupa datang dari Ellysabeth Monica (33), seorang penyanyi dan guru les musik privat. Baginya, self-reward hadir dalam bentuk barang-barang bermerek high-end, termasuk makeup dan tas tangan.

Dengan dua sumber penghasilan, ia mampu membeli barang-barang tersebut bahkan di masa ekonomi sulit. Menurutnya, kualitas yang ditawarkan oleh merek premium sepadan dengan harganya.

“Contohnya, untuk makeup, saya membandingkan warna dan tekstur merek high-end dengan produk drugstore, dan hasilnya berbeda di kulit saya,” kata Monica, yang baru saja pindah ke Amerika Serikat.

Meski dianggap boros, ia merasa pengeluaran itu sepadan dengan kualitas dan kepuasan yang didapat. Baginya, self-reward penting untuk menjaga motivasi tetap tinggi.

MEMBACA  Pengambilalihan Kedutaan oleh Perempuan dalam Kampanye Global Kesetaraan Gender

“Selalu ada tantangan di pekerjaan. Jadi self-reward adalah alat yang membantu untuk tetap termotivasi,” catatnya.

Kebutuhan Psikologis

Fenomena ini sejalan dengan analisis ekonom INDEF Abra Talattov, yang menyatakan bahwa self-reward atau pengeluaran untuk kemewahan di tengah resesi ekonomi bukanlah hal yang tidak biasa.

Ia menekankan kebutuhan psikologis masyarakat untuk menjaga kepercayaan diri dan semangat kerja, bahkan ketika daya beli secara keseluruhan berada di bawah tekanan.

“Motivasinya adalah untuk meredakan stres dan kelelahan dari pekerjaan. Itu adalah bentuk pelampiasan. Mereka membutuhkan waktu dan ruang untuk hiburan atau bersantai,” katanya kepada ANTARA.

Talattov juga mencatat bahwa tren ini mencerminkan pergeseran perilaku konsumen. Normalnya, jelasnya, selama perlambatan ekonomi, orang akan fokus berbelanja barang pokok seperti bahan pangan.

Namun, definisi kebutuhan sehari-hari telah meluas, bukan hanya kebutuhan fisik, tetapi juga kesejahteraan mental dan emosional.

“Orang-orang sekarang mengalokasikan dana untuk menjaga kesehatan mental, membangun reputasi pribadi, atau menetapkan gaya hidup yang mencerminkan branding (atau identitas) mereka,” tambahnya.

Untuk mempertahankan keseimbangan kerja-hidup yang sehat, ia menjelaskan perlunya dukungan pemerintah untuk membantu masyarakat merawat kesehatan mental tanpa biaya besar, seperti mengadakan komunitas hobi inklusif atau fasilitas kebugaran gratis.

“Misalnya, pemerintah provinsi DKI Jakarta pernah mengusulkan pembangunan lapangan padel publik gratis. Inisiatif seperti itu perlu diperluas,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia menyebutkan bahwa gaya hidup konsumtif di kalangan generasi muda bukanlah hal baru, tetapi varietasnya telah meningkat, didorong oleh media sosial dan rasa takut ketinggalan (FOMO).

Meskipun ini mungkin terlihat seperti perilaku self-reward yang normal, hal ini membawa risiko jangka panjang seperti situasi keuangan yang rapuh selama guncangan mendadak.

MEMBACA  Inara Rusli Mendengar Kabar Insanul Fahmi Masih Beristri

Ini menunjukkan pentingnya kedewasaan finansial, serta peran pemerintah dalam menumbuhkan ekosistem yang sehat.

Translator: Nabila, Kenzu
Editor: Primayanti
Copyright © ANTARA 2025