Dapat Menyebabkan Penutupan Industri Tembakau, Pelaku Ekosistem Menentang Kenaikan Cukai pada Tahun 2025

Sabtu, 21 September 2024 – 17:19 WIB

Jakarta, VIVA – Sejumlah perwakilan ekosistem pertembakauan menilai, berbagai aturan baru yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait sektor pertembakauan nasional, telah menjadi beban tambahan yang dapat mematikan keberlangsungan industri hasil tembakau (IHT) di Tanah Air.

Baca Juga :

Hari Tani Ditunggangi Demi Kepentingan Elite, Masyarakat Jenuh Disuguhi Kegaduhan Kelompok Buruh

Aturan-aturan tersebut antara lain Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, rencana

Ilustrasi/Petani tembakau di Jawa Timur

Baca Juga :

Peringatan Hari Tani Disorot Lantaran Ditunggangi Agenda Politik

kemasan rokok polos tanpa merek pada Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK), hingga rencana kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) pada tahun 2025.

Ketua Umum Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), I Ketut Budhyman Mudhara mengatakan rencana kenaikan CHT dipastikan akan jadi beban tambahan para pelaku di IHT.

Baca Juga :

Vape Tanpa Nikotin, Inovasi untuk Pengurangan Ketergantungan Rokok

\”Beban cukai kita saat ini sudah sangat berat. Jadi tahun 2025 jangan dinaikkan lagi, karena akan bertambah lagi bebannya. Sekarang sudah berat, kalau ditambahkan kenaikan sedikit saja, maka semakin berat (bebannya),” kata Budhyman dalam keterangannya pada Sabtu, 21 September 2024.

Menurutnya, dengan fakta bahwa penerimaan negara dari cukai yang terus turun, maka sebenarnya hal itu menunjukkan beban kenaikan CHT yang sudah terlampau tinggi. “Kenaikan cukai ini saya rasa sudah sampai di limit, sehingga kinerja IHT jadi terganggu. Harapannya, cukai tidak akan naik lagi,” ujarnya.

Budhyman menambahkan, saat ini beban yang dipikul industri juga terasa semakin berat dengan terbitnya PP 28/2024, dan rencana kemasan rokok polos tanpa merek pada RPMK. Kebijakan pemerintah ini menurutnya sudah sangat menggangu subsistem, dan komponen di ekosistem pertembakauan. 

MEMBACA  20 pesenam artistik bersaing untuk mendapatkan tempat di Kejuaraan Dunia 2025.

“Nah, seperti di case PP 28/2024 dan RPMK ini kan banyak pelarangan-pelarangan yang nanti akan menyebabkan hilir terganggu, membuat produksi menurun, sehingga otomatis hulunya akan terganggu juga. Tidak hanya itu, tenaga kerja juga akan turun, termasuk petani tembakau dan cengkih. Semuanya akan rugi,” kata Budhyman.

Dia menegaskan, ancaman dari RPMK terkait kemasan rokok polos tanpa merek juga akan semakin memberatkan IHT. Pihaknya melihat bahwa PP Nomor 28/2024 dan RPMK ini sejak awal memang tidak inklusif.

Padahal, IHT merupakan satu-satunya industri nasional yang terlengkap dan terintegrasi dari hulu ke hilir, yang kontribusinya luar biasa signifikan bagi keuangan negara.

\”Justru kalau Kemenkes membuat aturan ini, seperti menempatkan IHT di ruang hampa dan kontribusi kami diabaikan. Kami jelas menolak pasal bermasalah dan diskriminatif dalam PP Kesehatan, termasuk kemasan rokok polos tanpa merek,” ujarnya.

Halaman Selanjutnya

Budhyman menambahkan, saat ini beban yang dipikul industri juga terasa semakin berat dengan terbitnya PP 28/2024, dan rencana kemasan rokok polos tanpa merek pada RPMK. Kebijakan pemerintah ini menurutnya sudah sangat menggangu subsistem, dan komponen di ekosistem pertembakauan.