Batasan Media Konvensional dan Digital Semakin Tumpang Tindih, RUU Penyiaran Mendesak Diselesaikan

Senin, 29 September 2025 – 20:00 WIB

Jakarta, VIVA – Perubahan terhadap Undang-Undang (UU) Penyiaran sudah sangat mendesak dan perlu mendapat perhatian serius. Penyebabnya, batasan regulasi dan perlakuan antara media penyiaran konvensional dengan media baru (platform digital) makin kabur dan tidak jelas.

Baca Juga :
HUT 80 RI, KPI Imbau Televisi dan Radio Semarakkan Siaran Kemerdekaan

“Batasan antara keduanya makin kabur. Ditambah lagi, masyarakat sekarang, terutama anak muda, punya akses tak terbatas ke informasi dan hiburan. Ini tidak hanya dari lembaga penyiaran berizin, tapi juga dari kreator konten independen, layanan streaming global, dan media sosial,” kata Rektor Institut Ilmu Sosial dan Manajemen STIAMI, Sylviana Murni, dalam sambutannya pada kegiatan Bimbingan Teknis (Bimtek) Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) 2025 di kampus STIAMI, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Senin (29/9/2025).

Meski begitu, lanjut Sylviana, perkembangan ini membawa dua hal: peluang besar untuk memperluas jangkauan dan inovasi, tapi juga tantangan serius terhadap relevansi, etika, dan kualitas isi siaran.

Baca Juga :
Siap Digunakan, Kilang Pertamina Internasional Lifting Perdana Bioavtur Berbahan Baku Minyak Jelantah

“Pertanyaannya, bagaimana kita memastikan lembaga penyiaran tetap jadi pilar utama penyedia informasi yang akurat, mencerahkan, mendidik, dan berkarakter kebangsaan di tengah banjirnya konten digital?” ujar Sylviana.

Merespon hal itu, Praktisi Penyiaran Neil Tobing menilai definisi penyiaran dalam revisi UU Penyiaran perlu diperbaiki. Pembaruan ini diharapkan bisa memberikan kejelasan, penegasan, dan rasa keadilan bagi semua pihak, termasuk industri penyiaran TV dan radio.

Baca Juga :
Koster Tegaskan Agenda PDIP di Bali usai Bimtek adalah Konsolidasi Partai, Bukan Kongres

“Memang sudah seharusnya definisi penyiaran di UU Penyiaran diperbaiki. Karena sangat penting untuk mengatur platform media lain,” kata Neil Tobing, salah satu narasumber Bimtek.

MEMBACA  Kemenag Meminta Penghulu dan Penyuluh Memberikan Edukasi Bahaya Judi Online kepada Calon Pengantin

Neil menegaskan, negara harus hadir dan berani mengatur platform media selain media mainstream (TV dan radio). “Negara harus mengaturnya tanpa mengurangi hak masyarakat untuk dapat informasi. Kami siap berdiskusi untuk itu,” pintanya sambil mengusulkan penguatan kewenangan KPI untuk mengawasinya.

Direktur Kerjasama Marketing dan Kemahasiswaan Istitut STIAMI, Dedy Kusna Utama, menyatakan perubahan regulasi ini bertujuan menciptakan keadilan bagi media penyiaran. “Pengaturan platform digital perlu. Literasi digital juga perlu. Kami akademisi siap mendorong dan memberikan masukan,” katanya.

Menanggapi hal itu, Ketua KPI Pusat, Ubaidillah, menyampaikan bahwa pihaknya memang menunggu dan berharap besar pada keterlibatan dunia kampus di tanah air. Menurutnya, kampus sebagai tempat pemikir dan ilmu pengetahuan harus memberikan sumbangsih untuk kebijakan penyiaran nasional.

“Partisipasi akademisi dalam regulasi penyiaran sangat penting. Relevan atau tidaknya juga tergantung pada bagaimana publik melihatnya. Karena KPI adalah wadah aspirasi publik. Jadi kalau publik ingin ada perubahan, ayo kita ubah,” tambah Komisioner KPI Pusat, Tulus Santoso, di sela-sela diskusi Bimtek.

Dalam kesempatan yang sama, Komisioner KPI Pusat, Aliyah, menjelaskan tugas dan fungsi KPI dalam menjaga siaran TV dan radio agar sesuai dengan regulasi. Ia juga menyampaikan bahwa siaran TV dan radio sangat penting untuk mengedukasi masyarakat melalui informasi yang dapat dipercaya.

Halaman Selanjutnya

Direktur Kerjasama Marketing dan Kemahasiswaan Istitut STIAMI, Dedy Kusna Utama, menyatakan perubahan regulasi ini untuk menciptakan keadilan terhadap media penyiaran. “Pengaturan platform digital perlu. Literasi digital juga perlu. Kami akademisi siap mendorong dan memberikan masukan,” katanya.