Langkah ini diambil setelah Riyadh menuduh Abu Dhabi mendukung kelompok separatis di Yaman dan membom apa yang dikatakannya sebagai pengiriman senjata milik Emirat di pelabuhan Mukalla.
Uni Emirat Arab telah mengumumkan penarikan pasukannya dari Yaman, serta menyatakan berakhirnya operasi yang disebutnya sebagai “operasi kontraterorisme” di sana. Pengumuman ini muncul setelah Arab Saudi menuduh Abu Dhabi mendukung kaum separatis di Yaman.
Pengumuman pada Selasa (9/7) itu disampaikan setelah pemerintah Yaman yang diakui secara internasional menuntut UAE menarik pasukannya dari negara tersebut dalam waktu 24 jam – seruan yang didukung oleh Arab Saudi.
Rekomendasi Cerita
**Daftar 4 item**
**Akhir daftar**
Beberapa jam sebelumnya, pasukan koalisi yang dipimpin Arab Saudi juga menyerang pelabuhan Yaman selatan, Mukalla, menyasar apa yang menurut Riyadh merupakan kiriman senjata terkait UAE yang ditujukan untuk Dewan Transisi Selatan (STC) yang separatis di Yaman.
STC, yang awalnya mendukung pemerintah Yaman yang diakui internasional dalam melawan pemberontak Houthi, melancarkan serangan terhadap pasukan pemerintah yang didukung Arab Saudi bulan ini, untuk memperjuangkan negara merdeka di selatan.
Serangan ini memecah kebuntuan selama bertahun-tahun, dengan STC menguasai wilayah luas di Yaman selatan, termasuk provinsi Hadramaut dan Al Mahrah, menentang peringatan dari Riyadh.
Arab Saudi menuduh UAE mendukung STC, namun Abu Dhabi membantah klaim tersebut.
Menyusul rangkaian peristiwa kilat pada Selasa itu, Kementerian Pertahanan UAE menyatakan telah melakukan “penilaian komprehensif” atas perannya di Yaman dan memutuskan untuk mengakhiri misinya di sana.
“Menyikapi perkembangan terkini dan implikasi potensialnya terhadap keselamatan dan efektivitas misi kontraterorisme, Kementerian Pertahanan mengumumkan penghentian kehadiran personel kontraterorisme yang tersisa di Yaman atas kemauan sendiri, dengan cara yang memastikan keselamatan personelnya,” bunyi pernyataan itu.
Retak yang Melebar
Serangan koalisi pimpinan Arab Saudi terhadap Mukalla, Yaman, mengungkap retakan yang semakin melebar antara Arab Saudi dan UAE. Kedua negara ini pernah bekerja sama dalam koalisi melawan pemberontak Houthi yang menguasai sebagian besar Yaman utara.
Pasukan Emirat pertama kali tiba di Yaman sebagai bagian dari koalisi pimpinan Arab Saudi yang memerangi Houthi pada 2015, namun UAE menarik sebagian besar pasukannya pada 2019, hanya menyisakan jumlah terbatas di wilayah selatan yang dikelola pemerintah.
Pasca serangan di Mukalla yang tidak menimbulkan korban jiwa itu, Rashad al-Alimi, kepala dewan kepresidenan Yaman yang didukung Arab Saudi, membubarkan pakta pertahanan dengan UAE dan memberi pasukan Emirat waktu 24 jam untuk pergi.
Dalam pidato televisi, Alimi mengatakan “telah dikonfirmasi secara definitif bahwa UAE menekan dan mengarahkan STC untuk melemahkan dan memberontak terhadap otoritas negara melalui eskalasi militer,” menurut kantor berita negara Yaman.
Arab Saudi kemudian menerbitkan pernyataan yang menyatakan kekecewaan atas “tekanan yang diberikan oleh UAE” kepada STC untuk melakukan operasi militer di provinsi Hadramaut dan Al Mahrah dekat perbatasan Yaman dengan kerajaan tersebut.
Riyadh menyatakan menganggap langkah-langkah tersebut sebagai ancaman terhadap keamanan nasionalnya.
“Dalam konteks ini, kerajaan menekankan bahwa setiap ancaman terhadap keamanan nasionalnya adalah garis merah, dan Kerajaan tidak akan ragu untuk mengambil semua langkah dan tindakan yang diperlukan untuk menghadapi dan menetralisir ancaman semacam itu,” bunyi pernyataan itu.
Riyadh juga menyerukan UAE untuk memperhatikan seruan al-Alimi untuk meninggalkan Yaman dan menghentikan “dukungan militer atau finansial apa pun kepada pihak mana pun” di negara tersebut.
Ini merupakan bahasa terkuat Arab Saudi sejauh ini dalam perselisihan dengan negara tetangganya itu.
UAE menyatakan terkejut dengan serangan udara tersebut, dan bahwa kiriman yang dimaksud tidak mengandung senjata serta ditujukan untuk pasukan Emirat. Tetapi mereka menyatakan mencari solusi “yang mencegah eskalasi, berdasarkan fakta yang terpercaya dan koordinasi yang ada”.
Televisi negara Yaman menunjukkan apa yang dikatakannya sebagai asap hitam membubung dari pelabuhan pada dini hari, beserta kendaraan yang terbakar. Al-Alimi mendeklarasikan zona larangan terbang, serta blokade laut dan darat di semua pelabuhan dan penyeberangan selama 72 jam.
Namun, STC tetap membangkang, bersikeras “tidak ada pemikiran untuk mundur” dari posisi yang baru direbutnya.
“Tidak masuk akal pemilik tanah diminta meninggalkan tanahnya sendiri. Situasi ini menuntut untuk tetap bertahan dan memperkuat posisi,” kata juru bicara STC Anwar al-Tamimi kepada kantor berita AFP.
“Kami berada dalam posisi bertahan, dan setiap gerakan terhadap pasukan kami akan dibalas oleh pasukan kami,” tambahnya.