Jakarta (ANTARA) – Otoritas Indonesia berhasil menggagalkan penyelundupan 32 reptil hidup di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Banten.
Seorang warga negara Mesir ditangkap karena mencoba membawa hewan-hewan tersebut, yang termasuk beberapa spesies dilindungi, tanpa dokumen resmi.
Orang tersebut, berinisial AAEA, dicegat dengan hewan-hewan yang disembunyikan di dalam bagasi terdaftarnya yang akan diterbangkan ke Jeddah.
Kepala Badan Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk wilayah Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara, Aswin Bangun, menegaskan bahwa bandara internasional merupakan titik kritis untuk perdagangan satwa liar ilegal.
“Setiap upaya membawa satwa dilindungi masuk atau keluar Indonesia tanpa dokumen yang sah akan diproses sebagai tindak pidana, tanpa kecuali, termasuk terhadap warga negara asing,” kata Bangun.
Setelah penemuan itu, tim dari multi-lembaga—termasuk Kementerian LHK, Karantina, Kepolisian, dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jakarta—menemukan 32 reptil hidup itu dikemas dalam sepuluh tas kecil.
Barang bukti yang disita meliputi: 3 ekor Soa-soa Hitam (Varanus beccarii), yang merupakan spesies asli Indonesia yang dilindungi, 6 ekor Sanca Batik Albino, 17 ekor Sanca Tiger Morph Platinum, 2 ekor Tokek Leopard, dan 4 ekor Lizard Tegu.
Reptil-reptil tersebut segera dipindahkan ke Pusat Penyelamatan Satwa Tegal Alur untuk pemeriksaan kesehatan dan perawatan penting, guna memastikan kesejahteraan mereka.
AAEA telah ditetapkan sebagai tersangka dan saat ini ditahan.
Direktorat Penegakan Hukum Kementerian LHK melanjutkan penyelidikan untuk mengungkap jaringan perdagangan satwa liar yang mungkin ada di negara-negara tujuan.
Kepala BKSDA Jakarta Didid Sulastiyo menekankan kerugian serius yang ditimbulkan oleh perdagangan ilegal ini, menyatakan bahwa hal ini melampaui pelanggaran administrasi.
“Soa-soa Hitam berasal dari Indonesia Timur dan populasinya di alam terancam karena perburuan,” jelas Sulastiyo.
“Mengangkut hewan hidup dalam tas kecil yang tidak berventilasi tidak hanya ilegal tetapi juga membuat mereka menderita dan berisiko tinggi mati, yang secara langsung merusak upaya konservasi global,” imbuhnya.
*Penerjemah: Arie Novarina
Editor: Aditya Eko Sigit Wicaksono
Hak Cipta © ANTARA 2025*