Ada misteri yang bikin bingung para pengguna setia celana khaki pria Dockers: Kenapa barang-barang suka jatuh dari kantong celana saat mereka duduk?
"Uang receh dan kunci saya suka jatuh saat duduk," tulis Robert C. tentang celana khaki Classic Fit-nya. "Bagus sih, tapi sayangnya kantong depannya terlalu dangkal," tulis ‘Disappointed Loyalist’ yang kasih bintang satu untuk celana cokelatnya. "Ini sebenarnya celana bintang 4," jelas IWearPants di sebuah ulasan online. "Sayangnya, mereka buat kesalahan besar di fashion; mereka bikin kantongnya terlalu dangkal."
Menurut ukuran IWearPants, kantong celana Dockers barunya lebih pendek 1,5 inci dari celana lamanya. Dia juga minta: "Kalau Dockers perlu naikin harga beberapa dollar, gapapa. Yang penting kasih saya kembali kantong celana yang dalam."
Sebenernya, Levi Strauss udah bukan perusahaan induk Dockers lagi. Bulan Mei kemarin, mereka jual merek Dockers ke Authentic Brands Group (ABG) dengan nilai awal $311 juta. (ABG menolak berkomentar tentang masalah kantong Dockers ini.)
Masalah kantong Dockers ini—yang bagi sebagian orang cuma masalah khayalan—sebenarnya udah ada bahkan sebelum ABG beli. Tapi ini nunjukkin bahayanya perubahan kecil; itu beda tipis antara pelanggan setia dan yang ninggalin produk. Merek paling dicintai pun bisa jadi rapuh kalau ada perubahan yang bikin konsumen kesal. Apalagi ketika merek warisan dibeli perusahaan seperti ABG, yang mau kembangkan merek itu secara global. Gairah konsumen bisa jadi pedang bermata dua.
Beberapa pelanggan setia Dockers punya keluhan tentang kantong merek ini.
Justin Sullivan/Getty Images
Banyak merek ikonik akhir-akhir ini mengambil jalan yang sama. Perusahaan manajemen merek seperti ABG, WHP Global, dan Marquee Brands sudah kumpulkan banyak merek terkenal. Perusahaan-perusahaan ini muncul sebagai kekuatan baru di fashion dan ritel, meraup sekitar $50 miliar penjualan global tiap tahun.
Nama-nama ritel Amerika kesayangan yang sekarang dimiliki perusahaan ini daftarnya panjang: WHP punya Toys “R” Us, Anne Klein, Express, Bonobos, dan Rag & Bone. Marquee punya merek Martha Stewart yang sudah direvitalisasi, BCBG, Laura Ashley, dan Isotoner. ABG, yang terbesar, punya lebih dari 50 merek, termasuk Eddie Bauer, Champion, dan Reebok.
ABG juga investasi di hak nama dan gambar selebriti top, seperti bintang sepak bola David Beckham dan pemain basket Shaquille O’Neal. ABG juga punya hak atas nama dan gambar ikon yang sudah meninggal seperti Elvis Presley, Marilyn Monroe, dan Muhammad Ali.
Sebuah kesepakatan senilai $1,4 miliar untuk ABG memiliki sebagian besar saham merek Guess? diperkirakan selesai tahun 2026. Jika itu terjadi, Guess? akan jadi salah satu merek terbesar di portfolio ABG.
Secara global, industri lisensi merek berkembang cepat—dari $295 miliar pada 2024 menjadi hampir $400 miliar pada 2029. Kenaikan permintaan konsumen, dukungan selebriti, dan pertumbuhan merek virtual mendorong pertumbuhan ini.
Umumnya, perusahaan manajemen merek beli hak intelektual sebuah merek, seringnya saat merek itu lagi susah atau bangkrut. Itu artinya mereka punya merek dagang, logo, hak cipta, dan mengontrol hak untuk melisensikan merek itu ke pihak ketiga. Manajer merek lalu buat perjanjian lisensi dengan jaringan mitra yang menangani produksi, pengiriman, pemasaran, dan penjualan di berbagai belahan dunia.
Pertanyaan utamanya adalah, apakah kehidupan kedua yang didapat merek-merek ini setelah diselamatkan bisa menguntungkan tanpa mengorbankan kualitas? Dalam beberapa kasus, versi baru merek ikonik ini sukses besar. Di kasus lain, mereka bisa jadi ‘merek zombie’, yang produksi barang inferior dan bikin konsumen kecewa.
"Lisensi bisa beneran nyelametin merek yang lagi turun," kata Armando Zuccali, CEO di Gag London Equity Capital. "Risikonya adalah ketika itu jadi satu-satunya strategi dan semua orang cuma kejar royalti. Biasanya saat itulah produk mulai menurun, pelan-pelan awalnya."
Cara Kerja Manajemen Merek
Inti bisnis ini adalah permainan volume: Perusahaan manajemen merek beli hak intelektual yang mereka percaya bisa menghasilkan lebih banyak pendapatan. Pembeli sering bilang mereka akan jaga merek kesayangan dengan bertanggung jawab, tapi ada ketegangan dalam proposisi ini: Jika strateginya adalah buat membuat merek populer lagi dan dioptimalkan, tekanan untuk menghasilkan dengan cepat, murah, dan dalam skala besar bisa bikin kualitas turun—yang oleh kritikus disebut "enshittification".
Alih-alih memproduksi sendiri, industri ini bergantung pada jaringan "mitra operasi"—perusahaan yang melisensikan merek dan mengerjakan produksi dan penjualan produk. Perusahaan manajemen merek biasanya memeriksa dan menyetujui produk untuk dijual, tapi desain, pengerjaan, dan manufaktur semuanya ditangani mitra operasi, jelas Sonia Lapinsky, direktur pelaksana di AlixPartners.
Kritikus bilang beberapa perusahaan manajemen merek hampir tidak memberikan pengawasan, sambil membiarkan mitra operasi menempelkan logo di banyak produk yang jelek. Kadang, mitra operasi mempekerjakan desainer dan pemasok yang sama yang dulu kerja sama merek itu sebelum dibeli, ujar Lapinsky, tapi masalah bisa muncul ketika praktik mitra operasi tidak jujur, atau mereka cari cara cepat.
Zuccali bilang, DNA merek biasanya cuma bertahan dari penjualan lisensi jika tim produk asli tetap punya wewenang untuk menyetujui kain, memeriksa konstruksi, mengunjungi pabrik, dan menolak ketika ada yang usul shortcut. "Kalau itu berhenti terjadi, merek itu cuma jadi logo yang bisa disewa siapa saja," tambahnya.
Merek pakaian pria ternama Brooks Brothers mengeluarkan lini pakaian berharga lebih murah di bawah kepemilikan barunya.
Erik McGregor/LightRocket via Getty Images
Langkah yang sering bikin skeptis adalah ketika perusahaan manajemen merek menyingkirkan kreator dan pendiri yang sebelumnya mengontrol ketat semua aspek produksi—misalnya, jalan-jalan di lini produksi buat periksa jahitan per inci pada celana, atau pemakaian lubang kancing asli pada jas.
"Secara teori, harusnya ada standar dalam pengaturan ini yang mempertahankan tingkat kualitas," kata Lapinsky. "Kalau tidak, lama-lama produknya nggak laku, dan manajer merek nggak bisa dapet royalti."
Ini soal menyeimbangkan kualitas dengan kuantitas, jelas Aaron Duncan, mantan direktur kreatif lisensi global di Playboy Enterprises. Tapi ketika mitra operasi sudah bertaruh pada merek dengan menjamin bayaran ke pemilik hak intelektual, mereka kadang "main sendiri" buat memastikan kembalinya investasi, katanya.
Duncan ingat satu licensee yang buka toko di Seoul untuk merek lain yang tidak bisa dia sebut namanya. Dia belum menyetujui toko itu, dan aestetikanya tidak cocok untuk merek tersebut, kata Duncan. Dia juga pernah punya produsen pakaian yang diam-diam memberikan sub-lisensi merek ke produsen lain. Saat ketahuan, produk tidak resmi itu sudah dijual. "Seringnya, kamu nggak tahu sampai ada yang belanja di mal antah berantah dan liat itu," ujar Duncan. "Itu bahayanya."
Tindakan yang menghasilkan pendapatan itu bisa melemahkan merek, tambah Duncan. Dan jika mitra sudah merusak merek, akan susah buat pulihkan citranya.
Paradoks Nostalgia
Apa sih yang bikin konsumen balik lagi ke merek kesayangan masa lalu? Menurut ahli strategi merek Jean-Pierre Lacroix, nostalgia berperan besar, dan nostalgia itu berakar pada tiga hal, terutama pada konsumen muda: Kecemasan, kebutuhan untuk melarikan diri secara mental; pencarian merek yang tidak mainstream; dan kekuatan influencer.
"Dasarnya, saat ini banyak kecemasan di pasar, dan orang cari cara untuk lari dari kecemasan ini," ujar Lacroix. "Perang, tarif, ketidakstabilan pasar, hilangnya pekerjaan, AI—semua ini bikin orang nggak tenang."
Merek dari masa lalu bisa menenangkan, katanya, memungkinkan konsumen yang cemas "untuk hidup di masa lalu di mana hidup itu menyenangkan." Bagi Gen Z, yang bahkan belum lahir ketika banyak merek ini jaya, daya tariknya kompleks: Influencer yang mau tampil unik pakai video unboxing di YouTube dan TikTok buat pamer produk yang disukai generasi orang tua mereka.
Clay Routledge, psikolog sosial yang khusus meneliti nostalgia, nulis di New York Times bahwa sekitar 60% Gen Z berharap mereka bisa teleportasi ke masa sebelum iPhone—yang bisa jelasin kenapa mereka kejar pengalaman offline nyata seperti piringan hitam, album foto, dan mainan papan.
Misalnya, sepatu lari merek Champion kembali populer setelah hampir hilang. Mereka populer karena memenuhi beberapa kotak kunci itu, kata Lacroix—merek yang nggak se-ada-di-mana-mana Nike, keunikan yang bikin pemakainya menonjol, dan faktor nostalgia yang membangkitkan ingatan akan kualitas lebih baik.
Champion nemuin hoodie tahun 1930-an, dan rancang itu untuk atlet pro supaya tahan pakai berulang, cuaca, dan perjalanan. Di bawah pengawasan ABG, Champion lagi naik daun lagi, dengan kemitraan baru buat jual di Target dan fokus yang lebih fashion-forward. Produknya dipasarkan sebagai berkualitas tinggi dan substansial—dengan anyaman terbalik yang sudah dipatenkan untuk tahan penyusutan.
Momen Martha Stewart
Martha Stewart—sebuah merek yang mencakup produk rumah dan taman, konten, dan gambar pendirinya—sekarang jadi bagian portfolio Marquee Brands, dan ini contoh bagus fenomena nostalgia. Ini juga tunjukkan bagaimana perusahaan manajemen merek bisa memanfaatkan dan mengoptimalkan merek kesayangan dengan membawa penggemar dan pelanggan baru. Perusahaan itu luncurin ulang buku seminal Stewart tahun 1982, Entertaining, bulan November setelah sadar buku itu dijual ratusan dollar di eBay, kata CEO Marquee Heath Golden.
Dalam gebrakan pemasaran, Stewart—miliarder wanita pertama Amerika yang dibuat sendiri dan figur budaya pop yang daya tariknya bertahan dekade—keliling media musim gugur ini, tampil di acara Today buat bahas bukunya sambil masak sup jamur dan toskana untuk musim sweater. Ada juga kolaborasi: Penggemar bisa beli tujuh makanan penutup dari buku Stewart di toko Crumbl Cookies.
"Martha Stewart lagi ngetop," kata Mark Weber, podcaster dan mantan CEO Calvin Klein. "Dia keliatan hebat, dan dia ada di depan publik dan menciptakan permintaan."
Tapi merek guru kedomestikan ini juga jadi ilustrasi apa yang bisa salah ketika sebuah merek dijual ke pemilik baru yang pengen optimisasi cepat. Martha Stewart Living Omnimedia go public tahun 1999, bernilai $2 miliar, dan raup hampir $1 miliar penjualan ritel tahunan di akhir 1990-an dan awal 2000—lalu berganti tangan beberapa kali setelah puncak itu. Tahun 2004, setelah hukuman penjara lima bulan Stewart terkait tuduhan insider trading, sahamnya anjlok, akhirnya hilang 70% nilainya. Tahun 2015, perusahaan manajemen merek Sequential Brands Group akuisisi Martha Stewart Living Omnimedia dengan $353 juta—harga murah, kurang dari seperlima valuasi puncaknya.
Di bawah Sequential, merek itu gagal pulihkan cachet-nya sebelumnya. Sequential bangkrut dan tutup tahun 2022, tapi seorang mantan eksekutif yang bicara anonim karena masih kerja di industri bilang perusahaan itu salah dengan coba membanjiri pasar ritel dengan merek Stewart. "Perusahaan mau nama Martha Stewart ada di setiap kategori produk, dari bingkai foto sampai sepatu kets sampai krim wajah," kata eksekutif itu. Dengan merek gaya hidup yang seharusnya membangkitkan aspirasi menghibur, strategi tanpa pandang bulu itu merusak narasi produk yang dikurasi atau spesial, tambah eksekutif veteran itu.
Tahun 2019, Marquee Brands beli Martha Stewart dari Sequential dengan harga lebih rendah, $215 juta. Tapi di bawah Marquee, merek Stewart tampaknya berkembang pesat. Tahun 2021, produk Stewart meraup sekitar $900 juta penjualan ritel gabungan tahunan, dan ada di 70 juta rumah tangga. Forbes perkirakan Martha Stewart Kitchen, lini kabinet, countertop, dan rak, bisa capai $1 miliar penjualan ritel tahun ini.
Golden bilang ke Fortune bahwa perusahaannya gali nostalgia, tapi mereka juga investasi besar-besaran di data konsumen dan perbarui produk serta pemasaran untuk selera yang lebih modern. "Kami cintai 19 merek kami seperti kami cintai anak-anak kami," kata Golden. Selain nostalgia, konsumen ingin keaslian, dan Martha Stewart punya itu banyak, katanya.
Plus, Stewart punya game sosial yang kuat, termasuk hampir 3 juta pengikut di Instagram, di mana Stewart posting foto yang oleh pengikutnya disebut "thirst trap" foto diri sendiri, dekorasi, dan gambar dari sekitar rumahnya, termasuk bawang putih dan krisan yang ditanam di kebun.
Media sosial benar-benar ubah cara perusahaan ciptakan minat dan permintaan. "Kami di bisnis ‘keinginan’," kata Weber. "Kami di bisnis menciptakan kegilaan dalam dirimu buat pergi keluar dan beli sesuatu yang baru."
Risiko Kualitas
Neil Saunders, analis dan konsultan ritel, bilang yang penting bukan cuma masa setelah akuisisi, tapi bagaimana nilai merek tumbuh seumur hidupnya. Saunders tunjuk ke Brooks Brothers, yang dulu dimiliki ABG dan sekarang di bawah usaha patungan didukung ABG dengan J.C. Penney disebut Catalyst Brands, sebagai merek yang pernah tersandung dan sedang berusaha mengatasinya. Catalyst adalah licensee merek untuk Brooks Brothers di AS dan mengoperasikan desain, sourcing, e-commerce, dan toko secara domestik.
Di bawah ABG, Brooks Brothers luncurin beberapa lini pakaian harga lebih rendah disebut lini "difusi", kata Saunders, tapi pakaiannya "agak jelek". Agar nostalgia bisa bekerja, produknya harus tetap bagus dan harganya harus pas, ujar Saunders. "Nggak ada yang akan beli produk dari sebuah merek cuma karena ada unsur nostalgia," katanya.
Mekanisme penurunannya halus tapi kumulatif, dan pelanggan biasanya ngerasain itu sebelum siapa pun di dalam perusahaan mau mengakuinya, kata Zuccali. "Kulitnya kayaknya lebih tipis; resletingnya nyangkut; kancingnya keliatannya oke di foto tapi terasa murahan di tangan," katanya. "Begitu kepercayaan hancur di situ, susah banget buat balikin."
Segala jenis penurunan kualitas bisa menjauhkan pelanggan paling berharga sebuah merek, kata Gabriella Santaniello, pendiri konsultan merek A Line Partners. Dan beberapa—terutama pelanggan tua yang lebih kaya dan punya kesetiaan pribadi ke merek tertentu—sulit untuk diraih kembali. "Gen X adalah yang paling mungkin kecewa sama kamu kalau kamu sebuah merek," kata Santaniello. "Dan mereka akan mendendam—lebih susah bagi mereka buat move on."
Bisikan udah mulai tentang nasib mantan darling Hollywood, Badgley Mischka. Merek pakaian malam itu diakuisisi dengan harga tidak diungkapkan bulan April oleh usaha patungan antara perusahaan lisensi merek global Established Inc. dan ACI Licensing, dalam kesepakatan yang lihat pendiri bersama Mark Badgley dan James Mischka keluar perusahaan setelah lebih dari dua dekade.
Andy Cohan, Co-CEO dan co-founder ACI, bilang kepergian Badgley dan Mischka nggak akan ubah merek itu terlalu banyak. "Kami udah ambil dan pertahankan sudut pandang mereka dan posisi merek mereka ke depan, dengan tujuan buat bawa merek itu dan benar-benar memperluasnya."
Perancang James Mischka dan Mark Badgley dari Badgley Mischka, dengan model yang memakai merek tersebut.
Dia Dipasupil/Getty Images
Tapi transisi pendiri seperti di Badgley Mischka selalu tidak pasti, kata Zuccali. "Merek mereka punya rasa proporsi dan gerakan yang sangat spesifik sehingga susah buat dituangkan ke pedoman," katanya. "Tapi dalam setahun, mungkin 18 bulan, kita akan tahu apakah koleksinya masih punya cir