Sektor Teknologi Asia Tenggara Lesu, tapi Satu VC Yakin Masa Depannya Cerah

Adegan startup di Asia Tenggara baru aja mulai.

Seperti yang dikatakan Arun Pai dari Monk’s Hill Ventures di Singapura di Fortune Innovation Forum minggu lalu di Kuala Lumpur, sektor teknologi di region ini lebih muda 10 tahun dari India, tertinggal 20 tahun dari Cina, dan tertinggal 50 tahun dari Silicon Valley.

Setelah beberapa tahun lalu banyak deal yang optimis, [sektor teknologi Asia Tenggara sekarang lagi lesu.](https://fortune.com/2025/07/29/southeast-asia-venture-investors-ai-startups-landscape-exits-china-market/) Pendanaannya jadi berkurang banget. Kegagalan startup terkenal, kayak [eFishery dari Indonesia](https://www.bloomberg.com/news/features/2025-04-15/how-indonesian-startup-efishery-s-ex-ceo-gibran-huzaifah-faked-the-numbers), juga bikin semangat di region ini jadi kurang.

Terus, faktanya banyak ekonomi di Asia Tenggara masih dalam tahap perkembangan yang sangat awal. “Negara kayak Indonesia dan Vietnam punya GDP per kapita yang sangat rendah, artinya kemauan orang untuk beli produk atau layanan kamu masih sangat sulit [dan rendah],” kata Pai dalam sebuah panel diskusi yang diadakan Universiti Malaya tanggal 17 November.

Sebagai gantinya, Pai bilang kalau beberapa founder di Asia Tenggara, terutama yang ada di Singapura dan Malaysia, lebih berhasil dengan “membangun untuk global,” daripada hanya target pasar tetangga.

Yiannis Maos, co-founder Unloq AI, yang juga bantu ubah region West Midlands di UK jadi pusat teknologi, juga saranin para founder untuk punya perspektif global.

“Kalau investasi nggak ada di region kamu, cari di tempat lain—[itu] pesen saya untuk startup-startup,” katanya.

Tanda-tanda positif di Asia Tenggara

Walaupun ada beberapa masalah jangka pendek, Pai bilang dia “cukup percaya diri kalau semuanya akan berjalan dengan baik disini dalam jangka panjang.”

Pertama, dia catat kalau [founder-founder Asia Tenggara](https://www.scmp.com/week-asia/economics/article/3333728/widodo-hails-southeast-asias-rise-global-force-entrepreneurship) sekarang memulai usaha kedua atau ketiga mereka, dan mereka memakai pengalaman mereka untuk “mencoba lagi.” Juga, ketegangan antara AS dan Cina yang makin meningkat mendorong pengusaha untuk “buka usaha” di pasar lain kayak Asia Tenggara.

MEMBACA  Apakah AS Kehilangan Posisinya sebagai Pemimpin Dunia dalam Sains? | Sains dan Teknologi

Akhirnya, kerja sama pemerintah dan swasta sudah mendorong calon pengusaha untuk terjun, tambah Pai, dengan pemerintah di Asia Tenggara bantu “mengurangi risiko aliran modal”. Dia tunjuk [dukungan pemerintah Malaysia untuk industri semikonduktornya](https://www.reuters.com/plus/malaysia-a-soaring-semiconductor-opportunity), lewat [Strategi Semikonduktor Nasional](https://www.mida.gov.my/mida-news/national-semiconductor-strategy-to-guide-industry-up-value-chain/), sebagai contoh.

Alex Shih, wakil presiden produk di Q-CTRL, sebuah perusahaan software infrastruktur kuantum, nambahin kalau kemitraan antara akademisi, industri, dan pemerintah adalah kunci untuk membangun teknologi seperti komputasi kuantum.

“Memang bagus untuk publikasi paper di lab, tapi harus ada kerja sama dengan sektor swasta, dan juga dana publik, untuk validasi teknologinya [dan] meningkatkannya skalanya,” kata Shih. “Kerja sama multinasional global-lah yang bikin yang tadinya cuma demonstrasi ilmiah bisa jadi produk komersial,” tambahnya.

Ke depannya, Pai berargumen bahwa contoh-contoh founder Asia Tenggara yang sukses akan mendorong lebih banyak orang untuk mengambil risiko dan mulai perusahaan sendiri. Pengusaha yang “sangat sukses” kayak CEO [Tesla](https://fortune.com/company/tesla/) Elon Musk atau founder [Meta](https://fortune.com/company/facebook/) Mark Zuckerberg sudah bantu menginspirasi founder lainnya, catatnya.

“Kita mulai lihat itu di Asia Tenggara, dimana ada [orang kayak] Anthony Tan dari Grab, yang sudah naikin skalanya perusahaannya dan bawa mereka go public.”