Menurut sebuah penelitian terbaru, laju kelahiran yang semakin menurun akan memicu perubahan demografis yang akan berpengaruh besar terhadap ekonomi global dalam 25 tahun mendatang. Pada tahun 2050, tiga perempat negara diprediksi akan jatuh di bawah tingkat kelahiran pengganti populasi sebesar 2,1 bayi per perempuan, menurut penelitian yang dipublikasikan oleh jurnal medis The Lancet pada hari Rabu. Hal ini akan membuat 49 negara, terutama di wilayah berpendapatan rendah di Afrika Sub-Sahara dan Asia, bertanggung jawab atas sebagian besar kelahiran baru.
Lanskap demografis yang berubah ini akan memiliki dampak sosial, ekonomi, lingkungan, dan geopolitik yang “dalam”, kata para penulis laporan. Terutama, penurunan angkatan kerja di negara-negara maju akan memerlukan intervensi politik dan fiskal yang signifikan, meskipun kemajuan dalam teknologi memberikan sedikit dukungan.
Selain itu, laporan ini juga menyoroti perbedaan antara negara berpendapatan tinggi, di mana laju kelahiran terus menurun, dan negara berpendapatan rendah, di mana laju kelahiran terus meningkat. Dari tahun 1950 hingga 2021, tingkat kesuburan global (TFR) turun lebih dari separuh, dari 4,84 menjadi 2,23, karena banyak negara menjadi lebih kaya dan wanita memiliki lebih sedikit bayi. Trend ini diperparah oleh perubahan sosial, seperti peningkatan partisipasi tenaga kerja perempuan, dan langkah-langkah politik termasuk kebijakan satu anak di China.
Dari tahun 2050 hingga 2100, tingkat kesuburan global total diperkirakan akan turun lebih jauh dari 1,83 menjadi 1,59. Tingkat penggantian – atau jumlah anak yang diperlukan oleh pasangan untuk menggantikan diri mereka sendiri – adalah 2,1 di sebagian besar negara maju.
Sementara itu, negara-negara berpendapatan rendah diprediksi akan melihat pangsa kelahiran baru hampir dua kali lipat dari 18% pada tahun 2021 menjadi 35% pada tahun 2100. Hingga akhir abad, Afrika Sub-Sahara akan menyumbang setengah dari semua kelahiran baru, menurut laporan tersebut.