Yogita Limaye
Koresponden Asia Selatan dan Afghanistan
Aakriti Thapar/BBC
Angin berhembus kencang menerbangkan debu dari tanah saat Ghulam Mohiddin dan istrinya Nazo berjalan menuju pemakaman tempat semua anak mereka dikebumikan.
Mereka menunjukkan kepada kami makam tiga putra yang mereka kehilangan dalam dua tahun terakhir – Rahmat yang berumur setahun, Koatan tujuh bulan, dan yang terbaru, Faisal Ahmad yang baru tiga bulan.
Menurut Ghulam dan Nazo, ketiganya menderita kekurangan gizi.
"Dapatkah kau bayangkan betapa perihnya kehilangan tiga anak? Satu saat ada bayi dalam pelukanmu, sesaat kemudian lengang," ucap Nazo.
"Setiap hari aku berharap para malaikat akan mengembalikan bayi-bayiku ke rumah kami."
Aakriti Thapar/BBC
Makam anak-anak Ghulam dan Nazo di Sheidaee
‘Tiga juta anak dalam bahaya’
Ada hari-hari di mana pasangan ini tidak makan sama sekali. Mereka mencari nafkah dengan memecahkan cangkang kenari di permukiman Sheidaee, di luar kota Herat, Afghanistan barat, dan tidak mendapat bantuan dari pemerintah Taliban maupun LSM.
“Melihat anak-anakku menangis kelaparan dalam keadaan tak berdaya, terasa seperti tubuhku terbakar. Seperti ada yang menggergajiku dari kepala hingga kaki,” kata Ghulam.
Kematian anak-anak mereka tidak tercatat di mana pun, namun ini adalah bukti dari gelombang kematian senyap yang melanda anak-anak termuda Afghanistan, seiring negara tersebut terdorong ke dalam apa yang disebut PBB sebagai krisis kelaparan yang tak pernah terjadi sebelumnya.
“Kami memulai tahun dengan peningkatan malnutrisi anak tertinggi yang pernah tercatat di Afghanistan. Namun keadaan semakin memburuk sejak itu,” ujar John Aylieff, Direktur Negara Program Pangan Dunia (WFP).
“Bantuan pangan selama ini menahan laju kelaparan dan malnutrisi di negara ini, khususnya bagi lima juta orang paling miskin yang benar-benar tidak bisa bertahan tanpa dukungan internasional. Penahan itu kini telah terangkat. Melonjaknya angka malnutrisi menempatkan nyawa lebih dari tiga juta anak dalam bahaya.”
Bantuan menurun drastis karena donor terbesar, AS, menghentikan hampir semua bantuan untuk Afghanistan awal tahun ini. Namun WFP menyatakan delapan atau sembilan donor lain yang mendanai mereka dalam dua tahun terakhir juga berhenti tahun ini, dan banyak lainnya memberikan jauh lebih sedikit dibanding tahun lalu.
Salah satu alasannya adalah donor tengah merespons sejumlah krisis di seluruh dunia. Namun kebijakan pemerintah Taliban juga mempengaruhi seberapa besar dunia bersedia membantu.
Apa yang mereka lakukan untuk membantu warganya?
“Mereka yang menghadapi malnutrisi, mereka yang menghadapi kelaparan, itu karena sanksi, karena pemotongan bantuan oleh organisasi internasional. Bukan karena pemerintah,” kata Kepala Kantor Politik Taliban di Doha, Suhail Shaheen, kepada BBC.
“Pemerintah telah memperluas bantuannya kepada rakyat dan melakukan apa yang dalam kemampuannya. Namun anggaran kami berdasarkan pendapatan domestik, dan kami menghadapi sanksi.”
Aakriti Thapar/BBC
Dua pertiga makam di Sheidaee adalah milik anak-anak
Tetapi sikap keras kepala Taliban mengenai hak-hak perempuan mempengaruhi upayanya untuk mendapatkan pengakuan internasional dan pencabutan sanksi. Keputusan lainnya, seperti pemberlakuan baru-baru ini atas larangan yang sebelumnya telah diumumkan terhadap perempuan Afghanistan bekerja untuk LSM, menurut PBB, menempatkan penyaluran “bantuan kemanusiaan penyelamat nyawa dalam risiko serius.”
Darurat malnutrisi ini diperparah oleh faktor-faktor lain – kekeringan parah yang telah mempengaruhi pendapatan pertanian di lebih dari separuh provinsi Afghanistan, dan pemulangan paksa lebih dari dua juta warga Afghanistan dari Iran dan Pakistan, yang mengurangi jumlah uang yang mereka kirim ke rumah.
‘Lapar sepanjang waktu’
Di pemakaman Sheidaee kami menemukan bukti mengejutkan tentang kematian anak-anak. Tidak ada catatan tentang orang yang dimakamkan di sana, jadi kami menghitungnya sendiri. Kira-kira dua pertiga dari ratusan makam adalah milik anak-anak – mudah membedakan makam kecil dari yang besar.
Penduduk desa mengatakan kepada kami bahwa pemakaman itu relatif baru, berusia sekitar dua hingga tiga tahun. Mereka juga mengonfirmasi bahwa itu bukan pemakaman khusus untuk anak-anak.
Saat kami berjalan melalui permukiman di Sheidaee, orang-orang keluar sambil menggendong anak-anak mereka. Rahila menggendong Hibatullah yang, pada usia dua tahun, tidak bisa berdiri. Durkhanee mengeluarkan putranya Mohammad Yusuf, yang juga hampir dua tahun dan tidak mampu berdiri.
Hampir separuh dari semua anak Afghanistan di bawah usia lima tahun mengalami stunting, kata PBB.
Aakriti Thapar/BBC
Hanifa memberi Rafiullah roti yang dicelupkan ke dalam teh, jika dia bisa – dan obat-obatan untuk membuatnya tidur
Di salah satu rumah lumpur dan tanah liat, putra Hanifa Sayedi yang berusia satu tahun, Rafiullah, hampir tidak bisa menopang dirinya sendiri, bahkan saat duduk.
“Aku membawanya ke klinik dan mereka bilang dia kekurangan gizi, tapi aku tidak punya uang untuk terus membawanya ke sana,” katanya. Dia dan suaminya memiliki dua anak lainnya, dan potongan roti kering dengan teh hijau Afghanistan adalah satu-satunya makanan yang mampu dibeli keluarga itu. Beberapa hari mereka tidak makan.
Rafiullah belum memiliki gigi, jadi Hanifa mencelupkan roti ke dalam teh dan menyuapinya.
“Tapi itu tidak cukup dan dia lapar sepanjang waktu. Untuk membuatnya tidur, aku memberinya obat-obatan ini,” ujarnya, sambil mengeluarkan dua strip tablet.
Aakriti Thapar/BBC
Obat-obatan seperti ini dapat merusak jantung, ginjal, dan hati anak
Satu strip adalah Lorazepam, obat anti-kecemasan, yang lainnya adalah Propranolol, obat yang mengontrol tekanan darah tinggi. Satu strip harganya 10 Afghani ($0,15; £0,13), jumlah yang sama dengan harga sepotong roti. Hanifa mengatakan dia membelinya di apotek, dengan alasan ingin membeli pil tidur untuk dirinya sendiri.
“Aku merasa sangat bersalah bahwa anak-anakku kelaparan dan aku tidak bisa berbuat banyak. Aku merasa tertekan dan ingin membunuh anak-anakku dan diriku sendiri,” katanya.
Para dokter mengatakan bahwa jika diberikan kepada anak kecil, obat-obatan seperti ini dapat merusak jantung, ginjal, dan hati anak, dan bahkan dapat mengancam jiwa jika diberikan dalam jangka waktu yang lama.
Hanifa adalah satu dari jutaan permohonan bantuan.
“Sangat memilukan berada di negara ini dan menyaksikan ini terjadi. WFP memiliki hotline. Kami harus melatih ulang operator panggilan kami karena kami menerima proporsi panggilan yang jauh lebih tinggi dari perempuan yang mengancam bunuh diri karena mereka putus asa dan tidak tahu lagi bagaimana memberi makan anak-anak mereka,” kata John Aylieff dari WFP.
Penutupan bantuan pangan kepada komunitas-komunitas seperti di Sheidaee dan di bagian lain Afghanistan berarti lebih banyak anak didorong ke dalam kondisi malnutrisi akut yang parah.
Kami telah melihat buktinya di rumah sakit di seluruh Afghanistan.
Di bangsal malnutrisi Rumah Sakit Regional Badakhshan di timur laut, ada 26 anak di 12 tempat tidur.
Sana yang berusia tiga bulan, bayi termuda di bangsal itu, menderita malnutrisi, diare akut, dan bibir sumbing. Dia adalah bayi kedua ibunya, Zamira. Anak pertama, seorang bayi perempuan, meninggal ketika berusia 20 hari.
Aakriti Thapar/BBC
Zamira takut Sana mungkin meninggal, seperti putri pertamanya
“Aku takut anak ini mungkin mengalami nasib yang sama. Aku lelah dengan kehidupan ini. Ini tidak layak untuk dijalani,” kata Zamira, dengan wajah yang hancur.
Saat Zamira berbicara, tangan dan kaki Sana membiru. Jantung mungilnya tidak memompa cukup darah. Seorang perawat memberinya oksigen.
Di tempat tidur lain ada Musleha yang berusia lima bulan, yang menderita malnutrisi dan campak. Ibunya, Karima, mengatakan bahwa anaknya hampir tidak membuka matanya dalam beberapa hari terakhir.
“Dia kesakitan dan aku tidak tahu harus berbuat apa. Kami miskin dan tidak memiliki akses ke makanan bergizi. Itulah sebabnya dia dalam keadaan ini,” kata Karima.
Di tempat tidur sebelah Musleha, ada bayi kembar Mutehara dan Maziyan. Bayi perempuan itu juga mengalami malnutrisi dan campak, dan beratnya hanya setengah dari yang seharusnya pada usia 18 bulan. Mutehara mengeluarkan tangisan lemah. Jelas bahwa dia sedang kesakitan.
Aakriti Thapar/BBC
Musleha yang berusia lima bulan mengalami malnutrisi dan campak
Seminggu setelah kami mengunjungi rumah sakit, kami melakukan tindak lanjut dengan keluarga para bayi. Kami diberi tahu bahwa Sana, Musleha, dan Mutehara semuanya telah meninggal.
‘Kami sungguh tidak mampu memberi mereka makan’
Ini bukan pertama kalinya kami mendokumentasikan kematian anak akibat malnutrisi di Afghanistan, tetapi ini adalah yang terburuk yang pernah kami lihat.
Dalam rentang seminggu, tiga bayi dari satu bangsal menjadi korban terbaru dari krisis kelaparan Afghanistan.
Dan hal ini akan semakin memburuk.
“Pendanaan kemanusiaan WFP akan habis pada November. Saat ini, kami mulai menolak perempuan dan anak-anak yang kekurangan gizi dari pusat-pusat kesehatan karena kami sungguh tidak mampu memberi mereka makan. Pada November, kami akan berhenti kecuali kami mendapat tambahan pendanaan,” kata John Aylieff.
Dengan musim dingin yang mendekat, sulit untuk melebih-lebihkan urgensi bencana yang terjadi di Afghanistan.
Pelaporan tambahan oleh Mahfouz Zubaide, Aakriti Thapar, Sanjay Ganguly