Dalam pidato bulan lalu, Presiden Donald J. Trump menjelaskan tiga perintah eksekutif yang dia tanda tangani untuk mempromosikan dominasi Amerika dalam teknologi AI. Dia berjanji bahwa karena Amerika adalah negara yang memulai perlombaan AI, “Saya di sini untuk nyatakan bahwa Amerika akan menang!”
Untuk mencapainya, perintah eksekutifnya akan mempermudah perusahaan membangun infrastruktur AI, mempercepat proses perizinan dengan menghilangkan pengawasan dan perlindungan yang dianggap memberatkan, serta mendorong ekspor produk AI buatan Amerika.
Ini adalah langkah terbaru dalam perlombaan senjata AI global, didukung oleh investasi miliaran dolar dari perusahaan teknologi dan modal ventura besar maupun kecil di AS dan seluruh dunia. Saya telah meneliti AI yang bertanggung jawab selama lebih dari 35 tahun, dan saya khawatir tentang bencana yang akan datang. Perusahaan teknologi raksasa mungkin menang dalam perlombaan senjata AI saat ini, tetapi pasti kalah dalam hal dampak merusak pada masyarakat.
Perusahaan besar akan jadi semakin raksasa
Awal tahun ini, empat raksasa teknologi — Alphabet, Amazon, Meta, dan Microsoft — berencana menghabiskan $320 miliar hanya untuk AI tahun ini. EU juga mengalokasikan miliaran euro untuk membangun pabrik AI besar, dengan tujuan menjadi pemimpin global di bidang ini.
India juga tidak mau ketinggalan. Misi IndiaAI memiliki anggaran $1,3 miliar untuk infrastruktur AI dan startup, dengan fokus pada keberlanjutan, kesehatan, dan pertanian. Sementara itu, China, yang dulunya disebut “raksasa tidur,” ingin menjadi pemimpin AI global pada 2030 dengan nilai pasar AI mencapai $1,4 triliun!
Keberhasilan seharusnya tidak diukur dari seberapa banyak uang yang diinvestasikan, tetapi dari cara AI digunakan dan perlindungan yang diberlakukan agar dampaknya positif, bukan merusak.
Krisis ketenagakerjaan mengancam
Salah satu masalah besar adalah kurangnya tenaga kerja terlatih di bidang AI. Menurut penelitian Randstad, hanya sepertiga karyawan yang pernah mendapat pelatihan AI tahun lalu. Hanya 29% pekerja wanita yang terampil dalam AI, sedangkan 71% adalah pria.
Pelatihan AI butuh waktu lama, sementara teknologi berkembang sangat cepat. Perusahaan juga berpikir AI bisa gantikan manusia karena lebih cepat dan murah. Tapi ini salah. AI harus dilihat sebagai alat bantu, bukan pengganti manusia.
Masalah emisi
AI juga menyebabkan peningkatan emisi karena pusat data yang besar. Microsoft melaporkan emisi CO₂ mereka naik 30% sejak 2020 karena ekspansi pusat data. Ironisnya, ini terjadi saat banyak perusahaan berjanji mencapai nol emisi dalam dua dekade mendatang.
Di sisi lain, AI bisa membantu kurangi emisi global hingga 4% pada 2030. Teknologi ini juga mempercepat inovasi ilmu pengetahuan, seperti penemuan obat dan prediksi cuaca yang 30% lebih akurat.
Perlu ada keseimbangan antara regulasi global dan penggunaan AI yang bertanggung jawab. Seperti industri penerbangan, AI bisa menjadi inovasi teraman jika dikelola dengan benar. Tapi semuanya harus dimulai dari kepercayaan pengguna dan keselamatan yang terjamin.
Pendapat yang diungkapkan dalam artikel ini adalah milik penulis dan tidak selalu mencerminkan pandangan Fortune.