Demonstrasi di China Menyusul Kasus Perundungan Sekolah yang Viral

Sebuah insiden perundungan di sekolah di Tiongkok selatan memicu serangkaian protes dan tuntutan keadilan lebih bagi korban berusia 14 tahun.

Video yang memperlihatkan gadis tersebut ditampar, ditendang, dan dipaksa berlutut oleh tiga remaja lainnya viral di Kota Jiangyou, Provinsi Sichuan, pekan lalu.

Polisi menyatakan ketiga tersangka adalah perempuan berusia 13, 14, dan 15 tahun—dua di antaranya telah dikirim ke “sekolah khusus untuk pendidikan korektif.”

Saat berita insiden ini menyebar di media sosial, banyak yang menilai hukuman terlalu ringan—terutama setelah muncul klaim bahwa korban telah dirundung cukup lama dan ibunya, yang dikabarkan tunarungu, memohon otoritas memberikan keadilan lebih untuk putrinya.

Hal ini memicu gelombang kemarahan publik daring, dan protes meletus di luar kantor pemerintah setempat di Jiangyou.

Lebih dari 1.000 orang berkumpul di jalanan pada 4 Agustus dan bertahan hingga lewat tengah malam, menurut pemilik toko setempat.

Salah seorang dari mereka mengatakan ke BBC bahwa “situasi memanas” setelah polisi menggunakan tongkat dan alat setrum untuk mengendalikan kerumunan.

Beberapa video yang diunggah daring seolah membenarkan pengakuannya. Terlihat aparat menyeret para demonstran di jalanan dan memukuli mereka dengan tongkat. Seorang saksi juga menyatakan melihat beberapa botol air dilempar ke arah polisi.

“Masyarakat hanya menginginkan keadilan,” ujarnya. “Mereka kesal karena hukuman [yang tak sebanding].”

Para saksi yang berbicara dengan BBC enggan menyebut nama karena polisi dikabarkan telah mendesak warga lokal untuk tidak membicarakan insiden ini.

Dalam panggilan ke Biro Keamanan Publik setempat, BBC diberitahu ada “pembatasan bagi pers asing untuk bertanya.”

Protes di Tiongkok bukan hal langka, namun cepat diredam dan disensor di media negara maupun internet.

MEMBACA  Dokter kanker dan keluarga dengan anjing termasuk yang meninggal

Demonstrasi di Jiangyou memaksa polisi mengeluarkan pernyataan kedua untuk membantah rumor bahwa pelaku adalah anak seorang pengacara dan inspektur polisi. Klaim ini salah, kata polisi.

“Dua orang tua pelaku menganggur, dua bekerja di luar provinsi, satu penjual lokal, dan satu lagi pengemudi pengiriman,” bunyi pernyataan itu.

Polisi telah menghukum dua orang karena menyebarkan informasi palsu daring, menyebut postingan mereka “mengganggu ketertiban publik dan menimbulkan dampak sosial buruk.”

Seorang pengacara di Shanghai menulis di sebuah unggahan daring bahwa insiden ini menggarisbawahi dilema hukum yang dihadapi pejabat Tiongkok.

“Hukuman untuk luka ringan terlalu ringan, sementara trauma fisik dan mental korban diabaikan hukum, menciptakan ketimpangan besar dalam perlindungan hak mereka,” tulisnya di platform media sosial Weibo.

Identitasnya telah diverifikasi BBC, namun ia enggan disebutkan namanya.

Perundungan menjadi topik sensitif di Tiongkok belakangan ini, dan kematian siswa akibat dugaan perundungan pernah memicu protes sebelumnya.

Pada Januari tahun ini, kematian seorang remaja laki-laki memicu protes keras di sebuah kota di barat laut Tiongkok. Benda-benda dilemparkan ke polisi saat demonstrasi di Pucheng, Provinsi Shaanxi. Otoritas menyatakan remaja itu tewas terjatuh di asrama sekolah, namun media sosial diramaikan tuduhan adanya konspirasi.

Tahun lalu, pengadilan Tiongkok menjatuhkan hukuman panjang pada dua remaja yang membunuh teman sekelasnya di Provinsi Hebei dengan sekop. Kedua pelaku berusia 13 tahun itu mengubur korban di rumah kaca sayur yang terbengkalai.

Keluarga dan pengacara korban menyatakan ia kerap dirundung teman-temannya, sementara pengadilan menyatakan ia “pernah berselisih” dengan para terpidana.