"Mengapa Istilah ‘Pro-Palestina’ Perlu Ditinggalkan | Konflik Israel-Palestina" (Penulisan diperpendek untuk tampilan yang lebih elegan, tetap mempertahankan makna asli.)

Artikel CNN tanggal 5 Juli melaporkan tiga insiden di Melbourne, Australia: percobaan pembakaran sinagoga, konflik di sebuah restoran, dan tiga mobil yang dibakar dekat sebuah usaha. Tulisan tersebut minim detail tentang kejahatan yang dituduhkan dan identitas pelaku, namun disebutkan bahwa usaha itu "pernah menjadi target demonstran pro-Palestina sebelumnya".

Pilihan penulis untuk menyamakan aktivisme pendukung Palestina dengan aksi kekerasan yang minim fakta dan tinggi spekulasi mencerminkan cara media Barat beroperasi dewasa ini. Laporan media semakin sering mengaitkan aksi agresi dengan gerakan yang mereka sebut "pro-Palestina".

Contoh lain: Sebelum namanya diumumkan, publik tahu bahwa seorang penembak meneriakkan "Free, free Palestine" saat membunuh dua staf kedutaan Israel di depan Capital Jewish Museum di Washington, DC, pada 21 Mei. Media menyebut tersangka terkait dengan apa yang mereka deskripsikan sebagai "advokasi pro-Palestina".

Begitu pula ketika seorang warga Mesir menyerang demonstran pendukung Israel di Colorado pada 1 Juni, insiden itu juga dikaitkan dengan "protes pro-Palestina".

Penggunaan istilah "pro-Palestina" memudahkan reporter memenuhi standar editorial yang ringkas. Tapi ringkas bukanlah nilai jurnalistik yang mutlak. Yang utama adalah memberi informasi akurat pada publik.

Kata "pro-Palestina" telah menjadi jargon politik yang menghubungkan advokasi Palestina dengan kekerasan—sebuah narasi usang dan menyesatkan. Tanpa konteks kritis, istilah ini menyajikan penjelasan reduktif: aksi kekerasan disederhanakan dan dikaitkan secara samar dengan entitas "Palestina" melalui lensa sempit dan bias.

Mengabaikan konteks bukanlah kelalaian netral. Ini adalah penghinaan terhadap proses pengetahuan dan tunduk pada struktur kekuasaan yang mengendalikan narasi jurnalistik arus utama.

Klaim historis, budaya, dan religi apa yang diajukan Palestina? Kebanyakan pembaca di Barat tak siap menjawab. Dalam ekosistem informasi yang tertutup, mereka jarang—atau tak pernah—mendengar klaim ini secara utuh.

MEMBACA  5 Penawaran Vacuum Terbaik di Prime Day yang Kami Temukan (2024)

Seperti banyak yang mengikuti sejarah panjang Palestina atau meliputnya, saya sendiri pernah memakai istilah "pro-Palestina". Dulu terasa praktis: singkat dan seolah mudah dimengerti.

Tapi kini, istilah itu menyesatkan. Setiap kata berawalan "pro-" harus ditinjau ulang. Saat keadaan berubah dan makna baru muncul, tanda hubung itu terdengar ketinggalan zaman. Kita berada di momen ketika Gaza menjadi pusat kecaman global, kehancuran kemanusiaan, dan kegagalan moral yang nyata.

Menyebut aktivisme damai menentang kekerasan genosida di Gaza sebagai "pro-Palestina" melecehkan. Menentang kelaparan strategis terhadap populasi terjebak bukanlah "pro-Palestina"—itu "pro-kemanusiaan".

Apakah menyerukan penghentian kekerasan yang menewaskan 18.000 anak adalah "pro-Palestina"? Apakah mengecam kelaparan yang membunuh puluhan anak dan lansia adalah "pro-Palestina"? Apakah mengutuk orang tua Gaza yang dipaksa membawa potongan tubuh anak mereka dalam kantong plastik adalah "pro-Palestina"?

Istilah "pro-Palestina" hidup dalam ekonomi bahasa yang palsu. Ia meratakan realitas timpang menjadi narasi dua kubu yang setara—seolah rakyat terjajah, dibombardir, dan terusir adalah "pihak" yang seimbang dengan salah satu militer terkuat dunia.

Gaza bukanlah "pihak". Gaza, seperti dikatakan pejabat UNICEF, adalah "kuburan anak-anak". Tempat di mana jurnalis dibunuh karena menjadi saksi, rumah sakit hancur, dan universitas rata dengan tanah—di mana komunitas internasional gagal menjunjung standar minimal HAM.

Di era yang tak sabar dengan ketelitian, "pro-Palestina" menjadi tongkat retorika yang memuaskan kebutuhan palsu akan pengelompokan instan (fandom) tanpa pemikiran kritis. Istilah ini memungkinkan aktor beritikad buruk untuk mencap dissiden, mengabaikan kejelasan moral, dan mendelegitimasi kemarahan.

Menyebut Elias Rodriguez, pelaku penembakan di DC, sebagai "penembak pro-Palestina", adalah framing yang mengajak pembaca memaknai solidaritas Palestina sebagai pemicu kekerasan. Ini mendorong institusi, termasuk universitas, menyamakan advokasi dengan ekstremisme dan membungkam kebebasan berekspresi.

MEMBACA  Google menggunakan tenaga nuklir untuk mewujudkan ambisi kecerdasan buatan mereka.

Di momen kritis ini, kita butuh kejelasan—bukan eufemisme atau kaburnya konvensi pemberitaan.

Mari lakukan yang radikal: katakan apa yang kita maksud. Ketika orang memprotes penghancuran keturunan dan lahan pertanian di Gaza, mereka bukan "memilih pihak" dalam debat abstrak. Mereka menegaskan nilai kehidupan—menolak penderitaan satu kelompok demi kenyamanan kelompok lain.

Jika orang memperjuangkan HAM, katakan demikian. Jika mereka yakin hidup Palestina layak dapat martabat, keamanan, dan ingatan, sampaikan itu.

Dan jika mereka menyerukan "pembebasan Palestina" dengan frasa seperti "Free Palestine"—frasa yang sarat bobot politik, sejarah, dan emosi—itu pun butuh kejelasan. Dalam kebanyakan seruan ini, "pembebasan" bukan berarti kekerasan, tapi permintaan untuk bebas dari pendudukan, blokade, kelaparan, ketiadaan negara, serta pembunuhan dan penahanan tanpa konsekuensi.

Menggabungkan ekspresi beragam ini dalam label "pro-Palestina" yang kabur mengaburkan realitas dan memperdalam kesalahpahaman publik.

Pandangan dalam artikel ini milik penulis dan tidak mewakili sikap editorial Al Jazeera.