Pemerintahan Presiden Donald Trump telah menindaklanjuti ancamannya untuk menjatuhkan sanksi terhadap pejabat di Mahkamah Pidana Internasional (ICC), dengan menyebut empat hakim yang dituduh melakukan “tindakan tidak sah dan tidak berdasar” terhadap Amerika Serikat dan sekutunya.
Pada Kamis, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio mengumumkan sanksi tersebut dalam sebuah pernyataan tertulis yang bernada keras.
“ICC telah dipolitisasi dan secara keliru mengklaim memiliki kewenangan mutlak untuk menyelidiki, menuduh, serta mengadili warga negara AS dan sekutu kami,” tulis Rubio.
“Klaim berbahaya dan penyalahgunaan kekuasaan ini melanggar kedaulatan serta keamanan nasional AS dan sekutu kami, termasuk Israel.”
Keempat hakim yang dikenai sanksi mencakup Solomy Balungi Bossa dari Uganda, Luz del Carmen Ibanez Carranza dari Peru, Reine Adelaide Sophie Alapini Gansou dari Benin, dan Beti Hohler dari Slovenia.
Akibat sanksi ini, properti dan aset mereka di AS akan dibekukan. Entitas berbasis AS juga dilarang bertransaksi dengan mereka, termasuk melalui “penyediaan dana, barang, atau jasa”.
ICC segera merespons dengan pernyataan yang menegaskan dukungan terhadap para hakimnya dan “menyesali” keputusan pemerintahan Trump.
“Tindakan ini jelas merupakan upaya untuk melemahkan kemandirian lembaga peradilan internasional yang beroperasi di bawah mandat 125 Negara Anggota dari seluruh penjuru dunia,” ungkap pernyataan tersebut.
“Menyasar mereka yang bekerja demi akuntabilitas tidak membantu warga sipil yang terjebak dalam konflik. Ini hanya memberanikan pihak-pihak yang merasa bisa bertindak tanpa konsekuensi.”
Siapa saja hakim tersebut?
Dalam lembar fakta, Kementerian Luar Negeri AS menjelaskan bahwa Bossa dan Ibanez Carranza dikenai sanksi karena mengizinkan penyelidikan terhadap pasukan AS di Afghanistan pada 2020, saat masa jabatan pertama Trump.
Sebelumnya, ICC sempat menolak permintaan penyelidikan dugaan kejahatan perang dan kemanusiaan di Afghanistan, tempat AS memimpin perang berkepanjangan dari 2001 hingga 2021.
Tapi tahun berikutnya, keputusan itu dibalik dengan mengabulkan permintaan jaksa untuk menyelidiki pasukan AS dan anggota CIA atas kejahatan perang di “fasilitas rahasia” di Afghanistan dan lokasi lain.
Menurut pengadilan, Afghanistan adalah anggota Statuta Roma yang mencakup 125 negara di bawah yurisdiksi ICC.
Namun pemerintahan Trump kala itu mengecam keras keputusan ICC, menyebutnya sebagai “institusi politik yang menyamar sebagai badan hukum”. AS yang bukan pihak dalam Statuta Roma selalu berargumen bahwa mereka berada di luar yurisdiksi ICC.
Israel, yang juga bukan anggota Statuta Roma, menggunakan argumen serupa untuk menolak kewenangan ICC atas tindakannya di Palestina.
Pasangan hakim lain yang disebut dalam sanksi Kamis—Alapini Gansou dan Hohler—dikenai sanksi karena tindakan mereka terhadap pemimpin Israel, menurut Kemenlu AS.
AS adalah sekutu tertua Israel, menjadi negara pertama yang mengakuinya pada 1948. Sejak itu, AS memberikan dukungan kuat, termasuk untuk perang di Gaza yang telah menewaskan sekitar 54.607 warga Palestina.
Para ahli PBB dan organisasi HAM menyamakan kampanye militer Israel di Gaza dengan genosida, seiring laporan pelanggaran HAM yang terus bermunculan.
Pada November 2024, tuduhan itu mendorong ICC untuk mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap PM Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menhan Yoav Gallant, yang dituduh melakukan kejahatan perang termasuk serangan sengaja terhadap warga sipil.
Alapini Gansou dan Hohler dikabarkan terlibat dalam proses tersebut.
Apakah ini pernah terjadi sebelumnya?
Ini bukan kali pertama AS menjatuhkan pembatasan terhadap pejabat ICC sejak Trump kembali menjabat untuk periode kedua pada 20 Januari.
Tak lama setelah dilantik, Trump mengeluarkan perintah eksekutif luas yang mengancam sanksi bagi siapa pun yang terlibat dalam penyelidikan ICC. Kritikus memperingatkan bahwa bahasa semacam itu bisa menggiring proses hukum, misalnya dengan mencegah saksi memberikan bukti.
Tapi Trump berargumen bahwa surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan Gallant memaksa langkah ini.
Dia juga menyatakan bahwa AS dan Israel adalah “demokrasi yang berkembang” yang “secara ketat mematuhi hukum perang”, sementara penyelidikan ICC mengancam anggota militer dengan “pelecehan, penyiksaan, dan kemungkinan penangkapan”.
“Tindakan jahat ini mengancam kedaulatan AS dan merusak kerja vital keamanan nasional serta kebijakan luar negeri pemerintah AS dan sekutu kami, termasuk Israel,” bunyi perintah eksekutif itu.
Di bawah perintah itu, AS menjatuhkan sanksi terhadap jaksa ICC Karim Khan, yang mengajukan permohonan surat perintah penangkapan untuk Netanyahu dan Gallant. Hal itu memperlambat penyelidikan terhadap tindakan Israel di Gaza, dan Khan kemudian mengundurkan diri dari jabatannya di tengah tuduhan pelanggaran seksual.
Tapi Trump memiliki sejarah menentang ICC sejak masa jabatan pertamanya. Pada 2019, misalnya, dia mengumumkan akan menolak atau mencabut visa pejabat ICC yang terlibat penyelidikan pasukan AS di Afghanistan.
Lalu pada 2020, dia menjatuhkan sanksi terhadap jaksa ICC Fatou Bensouda dan pejabat pengadilan Phakiso Mochochoko. Tindakan itu kemudian dibatalkan di era Presiden Joe Biden.
Namun kritikus memperingatkan bahwa langkah Trump bisa berdampak buruk bagi ICC dalam jangka panjang, karena lembaga ini bergantung pada negara anggota untuk menjalankan perintah seperti surat penangkapan. ICC sendiri telah menyerukan penghentian ancaman tersebut.