Pasar obligasi pemerintah China telah dibuka tahun 2025 dengan peringatan jelas bagi para pembuat kebijakan: tanpa stimulus yang lebih tegas, para investor mengharapkan tekanan deflasioner akan semakin menguat di ekonomi terbesar kedua di dunia.
Yield obligasi 10 tahun China, sebagai patokan pertumbuhan ekonomi dan harapan inflasi, turun ke rekor terendah di bawah 1,6 persen selama perdagangan minggu lalu dan sejak itu berada di dekat level tersebut.
Yang lebih penting, seluruh kurva yield telah bergeser ke bawah daripada menjadi lebih curam, menunjukkan bahwa para investor khawatir tentang outlook jangka panjang dan tidak hanya mengantisipasi pemotongan suku bunga jangka pendek.
“Untuk obligasi jangka panjang, yield telah cenderung turun dan saya pikir itu lebih tentang harapan pertumbuhan jangka panjang dan harapan inflasi yang menjadi lebih pesimis. Dan saya pikir tren itu kemungkinan akan terus berlanjut,” kata Hui Shan, ekonom utama China di Goldman Sachs.
Penurunan yield menawarkan kontras yang tajam dengan yield yang volatil dan meningkat di Eropa dan AS. Bagi Beijing, penurunan tersebut merupakan awal yang memalukan untuk tahun ini setelah para pembuat kebijakan pada bulan September meluncurkan dorongan stimulus yang dirancang untuk menghidupkan kembali semangat ekonomi China.
Tetapi data yang dirilis pada hari Kamis menunjukkan harga konsumen tetap mendekati nol pada bulan Desember, tumbuh hanya 0,1 persen dibanding tahun sebelumnya, sementara harga pabrik turun 2,3 persen, tetap berada dalam wilayah deflasi selama lebih dari dua tahun.
Beberapa ekonomi memperingatkan bahwa penurunan yield obligasi China bisa turun lebih jauh. Analis di Standard Chartered mengatakan yield 10 tahun bisa turun lagi 0,2 poin persentase menjadi 1,4 persen pada akhir 2025, terutama jika pasar harus menyerap penawaran obligasi pemerintah pusat bersih yang lebih tinggi untuk tujuan stimulus.