Para penggemar Palantir tak sulit ditemui di dunia maya: Terdapat sejumlah subreddit yang berfokus pada Palantir, yang terbesar memiliki 109.000 anggota. Beberapa akun di X pun berhasil mengumpulkan pengikut yang sangat banyak dengan hanya memposting tentang perusahaan tersebut sepanjang hari.
Para fans Palantir bisa sangat terobsesi dengan harga saham perusahaannya. Mereka bersikap seperti penggemar sepak bola Amerika saat harganya naik, merayakannya bagai tim mereka mencetak touchdown. Ketika Palantir mendapatkan kontrak besar, rasanya seperti tim mereka merekrut pemain bintang baru. Dalam konteks ini, wajar jika orang ingin membeli merchandise—ibarat membeli jersey tim.
Basis penggemar Palantir secara bertahap meluas selama tahun-tahun di mana kontraktor untuk penegakan imigrasi dan militer sangat tidak populer di Silicon Valley. Bagi para penggemarnya, Palantir adalah underdog yang kontrarian yang tetap berpegang pada prinsipnya, meski dibenci oleh pihak lain.
Bagi Palantir, menjadi lifestyle brand tampaknya lebih tentang membuat para penggemarnya mengidentifikasikan diri secara publik dengan merek dan misinya. Hal ini dijelaskan secara eksplisit pada secarik kartu catatan putih bertanda tangan CEO Alex Karp yang disertakan dalam pesanan merch Palantir baru-baru ini.
“Terima kasih atas dedikasi Anda untuk Palantir dan misi kami mempertahankan Dunia Barat,” tulis kartu itu. “Masa depan milik mereka yang percaya dan membangun. Dan kami membangun untuk mendominasi.”
Younes juga menyampaikan sentimen serupa. “Palantir bukan sekadar perusahaan software,” tulisnya di X pada Agustus lalu. “Ini adalah sebuah pandangan dunia—nilai-nilai Barat, pro-warfighter, pemecahan masalah, keyakinan, perangkat lunak yang dominan, dll. Itulah mengapa orang-orang mengenakan gear-nya.”
Nilai-nilai ini tidak selalu populer di Silicon Valley. Bahkan, secara historis, nilai-nilai itu justru ditolak mentah-mentah. Pada 2018, ribuan pekerja Google berunjuk rasa menentang keterlibatan perusahaan dalam Proyek Maven, sebuah proyek Pentagon yang menganalisis rekaman drone dengan AI. Menuruti tuntutan pekerja, Google memilih untuk tidak memperpanjang kontrak Maven-nya namun menyatakan tidak akan berhenti bekerja sama dengan Pentagon. Di tahun yang sama, protes terhadap Palantir merebak di Palo Alto sebagai tanggapan atas kerja sama perusahaan dengan ICE. (ICE tidak membatalkan kontrak apa pun.)
Namun, di bawah pemerintahan Trump yang kedua, dunia teknologi mulai secara terbuka mengadopsi kerja sama dengan militer—baik secara transaksional maupun simbolis. Pada Juni lalu, Angkatan Darat menugaskan sekelompok elit eksekutif teknologi sebagai “letnan kolonel.” Kepala Teknologi Palantir Shyam Sankar bergabung dengan Kepala Teknologi Meta Andrew Bosworth, Kepala Produk OpenAI Kevin Weil, serta penasihat Thinking Machines Lab sekaligus mantan Kepala Riset OpenAI Bob McGrew, yang juga pernah bekerja di Palantir.
Toko merchandise Palantir yang sekarang tampaknya memanfaatkan perubahan suasana hati ini dan mengkomunikasikan bahwa perusahaan ini semakin mengukuhkan reputasi, branding, dan misinya. Dalam sebuah surat kepada pemegang saham bulan April, Karp menulis bahwa misinya “selama bertahun-tahun dianggap sebagai hal yang sarat politik dan tidak bijaksana.”
“Kami, para heretik, kumpulan orang-orang aneh ini, dahulu diusir dan hampir dibuang oleh Silicon Valley,” tulis Karp. “Namun, ada tanda-tanda bahwa beberapa pihak di Lembah itu kini telah berbalik haluan dan mulai mengikuti jejak kami.”