Potensi menjanjikan dari transplantasi babi ke manusia, atau dikenal sebagai xenotransplantasi, telah mencapai sebuah batasan baru. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, para ilmuwan berhasil mentransplantasikan paru-paru babi yang telah direkayasa secara genetik ke dalam tubuh manusia yang hidup.
Para peneliti di China melaporkan pencapaian medis ini dalam sebuah studi yang diterbitkan pada hari Senin di Nature Medicine. Paru-paru kiri hasil suntingan gen itu bertahan selama sembilan hari di dalam seorang pasien yang dinyatakan mati batang otak. Para peneliti mengakui bahwa masih diperlukan lebih banyak kerja untuk memastikan viabilitas jangka panjang dari organ-organ ini.
Kebutuhan Mendesak akan Organ
Meskipun ada kemajuan terkini, jumlah pendonor hidup maupun yang sudah meninggal masih tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan mendesak akan organ. Lebih dari 100.000 warga Amerika tercatat dalam daftar tunggu untuk organ donor, dan lebih dari 5.000 orang meninggal setiap tahunnya tanpa mendapatkannya. Itulah mengapa para ilmuwan telah berharap besar pada janji xenotransplantasi selama beberapa dekade.
Namun, pendekatan ini baru terasa dalam jangkauan belakangan ini, berkat kemajuan dalam penyuntingan gen yang memungkinkan ilmuwan menciptakan babi dengan biologis yang lebih kompatibel dengan manusia. Salah satu modifikasi vitalnya adalah menghilangkan kemampuan babi untuk memproduksi gula alpha gal pada otot mereka—sejenis gula yang tidak diproduksi oleh manusia.
Dalam tahun-tahun terakhir, para ilmuwan telah mentransplantasikan ginjal, hati, dan jantung dari babi hasil suntingan gen ke dalam tubuh manusia. Akan tetapi, penelitian terbaru ini tampaknya menunjukkan contoh pertama yang tercatat dari transplantasi paru-paru hasil rekayasa genetika.
Sebuah Pencapain Inovatif namun Bermasalah
Seperti kebanyakan studi xenotransplantasi pada manusia sejauh ini, penelitian ini melibatkan seorang pasien yang dinyatakan mati batang otak (menurut para peneliti, status ini telah diverifikasi melalui empat penilaian terpisah). Mereka mentransplantasikan paru-paru kiri babi ke penerima berusia 39 tahun, yang juga menjalani terapi imunosupresan. Kemudian, mereka memantau fungsi paru-paru baru tersebut serta respons imun inang terhadapnya.
Para peneliti menemukan bahwa paru-paru tersebut tidak langsung ditolak oleh tubuh, dan organ itu tetap viable serta berfungsi setidaknya selama sembilan hari. Tetapi, dalam waktu sehari, mereka mendeteksi kerusakan paru yang kemungkinan disebabkan oleh kembalinya aliran darah secara tiba-tiba. Pada hari ketiga dan keenam, mereka mengamati tanda-tanda penolakan dari antibodi penerima yang secara aktif merusak paru-paru. Meskipun terjadi pemulihan sesudahnya, para peneliti memutuskan untuk mengakhiri eksperimen pada hari kesembilan.
Betapapun pentingnya penelitian ini, temuan-temuan itu juga menunjukkan betapa masih jauhnya transplantasi semacam ini untuk menjadi kenyataan klinis.
“Meskipun studi ini menunjukkan kelayakan xenotransplantasi paru dari babi ke manusia, tantangan besar terkait penolakan organ dan infeksi masih ada,” tulis para peneliti.
Xenotransplantasi secara umum masih berada dalam tahap awal, dan terobosan yang sesungguhnya belum benar-benar terjadi. Para dokter telah mulai mentransplantasikan ginjal dan jantung hasil suntingan gen ke penerima hidup secara eksperimental (penerima ini biasanya sakit terminal dan memiliki sangat sedikit pilihan lain). Namun, hingga saat ini, tidak satupun dari pasien ini bertahan lebih dari beberapa bulan dengan organ baru tersebut. Sebagai contoh, pada bulan April, Towana Looney yang berusia 53 tahun melepas ginjal babinya empat bulan pasca-transplantasi setelah organ itu mulai gagal (ia sejak itu kembali menjalani cuci darah rutin).
Meski demikian, para ilmuwan masih terus belajar banyak dari studi-studi awal dan kegagalan ini. Pelajaran-pelajaran ini diharapkan dapat mempersempit kombinasi dan jumlah suntingan gen yang tepat yang diperlukan untuk membuat organ babi cukup ‘manusia’, serta regimen obat yang tepat untuk melindungi organ-organ ini dari penolakan. Dan teknologi ini tentu saja terus bergerak maju.
Sebagai contoh, pada Februari lalu, Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) memberikan izin kepada dua perusahaan—eGenesis dan United Therapeutics—untuk melanjutkan uji klinis Fase I xenotransplantasi bagi penderita gagal ginjal. Pada bulan April, eGenesis mendapatkan persetujuan lebih lanjut dari FDA untuk uji klinis Fase I terpisah untuk xenotransplantasi hati.