Ketika saya membaca sebuah tweet tentang empat eksekutif ternama Silicon Valley yang dilantik menjadi bagian khusus dari Angkatan Darat Cadangan AS, termasuk CTO Meta Andrew “Boz” Bosworth, saya meragukan kebenarannya. Sulit membedakan fakta dari satire di tahun 2025, sebagian karena media sosial yang dimiliki perusahaan Bosworth. Ternyata ini benar. Menurut rilis resmi, mereka sekarang berada di Angkatan Darat, tepatnya Detasemen 201: Korps Inovasi Eksekutif. Boz kini adalah Letnan Kolonel Bosworth.
Perwira baru lainnya termasuk Kevin Weil, kepala produk OpenAI; Bob McGrew, mantan kepala riset OpenAI yang kini menasihati perusahaan Mira Murati Thinking Machines Lab; dan Shyam Sankar, CTO Palantir. Para eksekutif teknologi paruh baya ini dilantik dengan mengenakan seragam kamuflase, seolah baru keluar dari pangkalan militer di Kandahar, untuk bergabung dengan korps yang dinamai berdasarkan kode status HTTP. (Kolonel David Butler, penasihat komunikasi kepala staf AD, mengatakan seragam resmi mereka belum siap.) Detasemen 201, tulis Angkatan Darat, adalah bagian dari inisiatif transformasi yang bertujuan membuat pasukan “lebih ringkas, cerdas, dan mematikan.”
Upacara pelantikan Korps Inovasi Eksekutif (EIC) Angkatan Darat di Conmy Hall, Joint Base Myer-Henderson Hall, Va., 13 Juni 2025.
Foto: Leroy Council/DVIDS
Jangan salahkan Donald Trump untuk ini. Program ini telah dirancang selama setahun, gagasan Brynt Parmeter, kepala manajemen bakat pertama Pentagon. Parmeter, mantan tentara yang memimpin dukungan veteran di Walmart sebelum bergabung dengan Departemen Pertahanan pada 2023, terpikir untuk mengajak teknolog berpengalaman memperbarui militer yang kurang melek teknologi setelah bertemu Sankar di konferensi awal tahun lalu. Iddenya, katanya, adalah menciptakan “situasi ala Oppenheimer” di mana eksekutif bisa langsung bertugas tanpa meninggalkan pekerjaan mereka.
Mereka berdua merancang rencana untuk merekrut orang seperti Sankar, yang vokal mendukung keterlibatan teknologi dengan militer, menyatakan AS berada dalam “keadaan darurat tak terdeklarasi” yang membutuhkan pembenahan militer berbasis teknologi. Ketika The Wall Street Journal menulis tentang program ini Oktober lalu, Sankar berjanji akan “jadi yang pertama.”
Sebagai tanda bahwa tak lagi tabu di Silicon Valley mengakui bahwa inovasinya berkontribusi pada kekuatan militer, program ini dipercepat dan sudah berjalan. “Sepuluh tahun lalu, ini bisa bikin aku dibatalkan,” kata Weil. “Sekarang orang berpikir, ‘Ini penting. Kebebasan tidak gratis.'”
Keempatnya adalah anggota resmi Angkatan Darat Cadangan. Namun, berbeda dengan cadangan lain, mereka tak wajib ikut pelatihan dasar, meski akan dapat pelatihan fisik dan tembak lebih ringan. Mereka juga boleh bekerja jarak jauh selama sekitar 120 jam per tahun, fasilitas yang tak diberikan ke cadangan lain.
Mereka tak akan dikirim ke medan perang, jadi tidak perlu mempertaruhkan nyawa di Iran, Greenland, atau Los Angeles. Tugas mereka adalah mengajari rekan dan atasan di militer cara memanfaatkan teknologi mutakhir untuk efisiensi dan kekuatan mematikan.
Seseorang mungkin mengira Angkatan Darat telah menyeleksi calon terbaik untuk program percontohan ini. Itu tidak terjadi. Sankar merekrut tiga perwira lainnya—semua pria, yang disengaja atau tidak sejalan dengan kecenderungan anti-DEI militer saat ini—dan mereka semua setuju. Menurut Butler, “Letnan Kolonel Sankar bilang, ‘Aku ingin pakai seragam. Dan ada tiga orang lain yang mau ikut.'” Weil mengaku bergabung setelah diminta Sankar. (Parmeter mengatakan karena ini program percontohan dengan hasil tak pasti, proses tertutup wajar.)