Simetri Aneh Antara Belahan Bumi Utara dan Selatan Mulai Runtuh

Meskipun kedua belahan Bumi terletak berseberangan dan berbeda dalam berbagai hal, mereka dulunya memiliki satu kesamaan yang aneh. Belahan Utara dan Selatan dulu memantulkan jumlah cahaya Matahari yang hampir sama kembali ke angkasa. Keseimbangan yang sudah lama dianggap unik ini kini mulai terganggu, karena data baru mengungkapkan bahwa satu sisi Bumi menjadi lebih gelap lebih cepat daripada sisi lainnya.

Dengan menggunakan data selama 24 tahun dari misi CERES milik NASA, sebuah tim ilmuwan menemukan bahwa Belahan Utara kini menyerap lebih banyak cahaya Matahari dibandingkan Belahan Selatan. Pergeseran dalam keseimbangan energi Bumi ini berpotensi memberikan dampak jangka panjang terhadap pola cuaca, curah hujan, dan iklim secara keseluruhan dalam beberapa dekade mendatang, sebagaimana disarankan oleh sebuah studi baru yang diterbitkan dalam Proceedings of the National Academy of Sciences.

Sebuah Keseimbangan yang Rentan

Bumi menerima energi dari Matahari dan memantulkan sebagiannya kembali ke ruang angkasa. Kemampuan memantulkan ini dikenal sebagai albedo, yaitu ukuran persentase cahaya Matahari yang dipantulkan oleh suatu permukaan. Sepanjang tahun, Belahan Selatan dan Utara menerima jumlah energi yang sama dari Matahari, dengan masing-masing belahan menerima lebih banyak sinar Matahari pada waktu yang berbeda dalam setahun.

Belahan Selatan didominasi oleh lautan, yang menyerap lebih banyak cahaya Matahari, sementara Belahan Utara memiliki lebih banyak daratan dan es laut yang lebih sedikit, yang menyerap panas lebih cepat dan memantulkan lebih sedikit cahaya Matahari. Pada awal tahun 2000-an, data satelit mengungkapkan bahwa kedua belahan Bumi memantulkan jumlah energi surya yang sama ke angkasa. Para ilmuwan sebelumnya menduga belahan Bumi akan berbeda, tetapi data justru menunjukkan bahwa awan di Belahan Selatan sedikit lebih tebal dan lebih reflektif, sehingga menyeimbangkan permukaan daratan yang lebih gelap di Belahan Utara.

MEMBACA  Hari Wayfair Way 2024: Diskon di Seluruh Situs Hingga 80% Hingga Senin

Namun, studi baru ini menunjukkan bahwa sistem yang dulu seimbang tersebut sedang berakhir. CERES milik NASA, yang diluncurkan pada tahun 1997, mengukur jumlah cahaya Matahari yang diserap Bumi serta jumlah energi infra merah yang dipancarkan ke angkasa. Tim di balik studi ini menganalisis data CERES dari tahun 2001 hingga 2024 dan menemukan bahwa Belahan Utara menyerap sekitar 0,34 watt lebih banyak energi surya per meter persegi per dekade dibandingkan Belahan Selatan.

Analisis tim mengidentifikasi tiga faktor pendorong utama di balik ketidakseimbangan yang muncul ini: mencairnya salju dan es, penurunan polusi udara, dan meningkatnya uap air.

“Hal ini sangat masuk akal,” ujar Norman Loeb, seorang ilmuwan iklim di Pusat Penelitian Langley NASA dan penulis utama studi baru tersebut, kepada Eos. “Permukaan Belahan Utara menjadi lebih gelap karena salju dan es mencair. Itu membuka daratan dan lautan di bawahnya. Selain itu, polusi telah menurun di tempat-tempat seperti Cina, AS, dan Eropa. Artinya, semakin sedikit aerosol di udara untuk memantulkan cahaya Matahari. Di Belahan Selatan, yang terjadi adalah sebaliknya."

Selain itu, Belahan Utara memanas lebih cepat dan karenanya menahan lebih banyak uap air, yang cenderung menyerap sinar Matahari daripada memantulkannya. “Itu adalah alasan lain mengapa Belahan Utara menyerap lebih banyak panas,” tambah Loeb.

Studi ini mencatat bahwa awan secara alami mengkompensasi asimetri hemisfer. Akibatnya, seharusnya ada lebih banyak pantulan awan di Belahan Utara daripada di Belahan Selatan. Namun, data menunjukkan tidak ada perubahan dalam tutupan awan sejauh ini. “Bagaimana awan merespons ketidakseimbangan hemisfer ini memiliki implikasi penting bagi iklim di masa depan,” tulis studi tersebut.

MEMBACA  Suku Bunga KPR dan Refinansi Hari Ini, 21 Oktober 2025: Tren Penurunan Terus Berlanjut