Saat yang Tepat untuk Tidak Menjadi Diri Sendiri di Tempat Kerja

Baru dua minggu Jodi-Ann Burey menjabat sebagai manajer pemasaran inklusi di sebuah perusahaan ritel outdoor, ia sudah dituduh punya "agenda rasial."

Burey, seorang perempuan kulit hitam, sebenarnya sudah akrab dengan kemunafikan di tempat kerja. Baginya, kantor adalah cawan petri tempat dinamika rumit masyarakat terpusat. Saat tuduhan itu dilayangkan pada Februari 2020, ia hanya bisa tertawa. "Saya bilang, Anda sudah tahu siapa saya sebelum merekrut saya. Ini persis yang Anda inginkan dari saya," ujarnya via Zoom. Peristiwa yang mendahului gelombang kesadaran rasial pasca pembunuhan George Floyd ini mengungkap kebenaran penting bagi Burey: Perusahaan sering berpura-pura peduli kesetaraan ras atau gender, tetapi gagal memenuhi janji itu. "Aneh sekali cara orang membelokkan diri untuk membuat kita ikut serta dalam kebohongan mereka."

Kini, identitas rasial justru terasa seperti beban di pasar kerja—lebih dari beberapa dekade terakhir—seiring ditinggalkannya tujuan kesetaraan. Administrasi Trump telah mengubah DEI menjadi alat politis untuk menyasar orang kulit hitam, transgender, dan minoritas lainnya. Pada Januari, Presiden Trump mengeluarkan perintah eksekutif untuk menghapus DEI dari lembaga federal dan memberantas "DEI ilegal" di sektor swasta. Ia juga berupaya melemahkan undang-undang anti-diskriminasi, dan para pemimpin bisnis pun cepat menyesuaikan diri. Ditambah dengan dampak DOGE pada lembaga federal, akibatnya sangat besar. Pada Agustus, menurut Departemen Tenaga Kerja AS, pengangguran di kalangan kulit hitam melonjak ke level tertinggi sejak pandemi 2021.

Rekrutan juga melambat di tengah ketidakpastian ekonomi. Banyak orang mengungkapkan kefrustrasiannya di media sosial tentang perjuangan mencari kerja yang melelahkan. Generasi Z menghadapi kendala lebih besar untuk mendapat pekerjaan—pasar tenaga kerja untuk pekerja usia produktif mungkin sedang menurun, catat Economic Policy Institute—sehingga kaum muda dipaksa mempertimbangkan kembali hubungan mereka dengan pekerjaan.

MEMBACA  Ingin Lepas dari Gawai saat Liburan? Aku Sengaja “Brick” iPhone untuk Hindari Doomscrolling—Dan Hasilnya Sungguh Efektif

Buku terbaru Burey, Authentic: The Myth of Bringing Your Full Self to Work, hadir di momen ketika orang ingin lebih memahami cara kerja dunia profesional sambil mencari tempat di dalamnya.

Yang Burey tawarkan adalah pandangan realistis tentang cara perusahaan memanfaatkan pekerja, dan bagaimana merebut kembali apa yang hilang. Lewat gabungan narasi pribadi dan pelaporan, Burey mengulas soal kelelahan, salah urus korporat, perlindungan yang menyusut, serta upah yang stagnan sebagai bukti taruhan menjadi autentik. "Keautentikan itu mahal, dan maksud saya dengan uang tunai. Sekadar ada sebagai perempuan berarti kita dibayar 80 sen untuk setiap dolar yang diterima pria kulit putih untuk peran sama," tulisnya. "Kita butuh sistem yang lebih baik, bukan cara negosiasi yang lebih baik."

Dengan karier yang mencakup LSM, pendidikan, dan startup—perusahaan dalam bukunya hanya disebut sandi seperti "The Org," "The Shop," dll.—Burey memetakan runtuhnya DEI pada 2020 saat korporasi bergegas investasi secara performatif, tetapi tidak berhenti di sana. Ia menjadikannya landasan untuk memperluas percakapan tentang apa yang sebenarnya dibutuhkan: "Bisakah kita membayangkan kepedulian alih-alih kontrol?"

Bukunya yang membahas konsekuensi menjadi diri sendiri di kantor ini adalah cerita—sebagian—tentang kegagalan tempat kerja Amerika terhadap pekerjanya, dan mengapa budaya kerja sehat mungkin mustahil diwujudkan.