Politik adalah Pemujaan; Fasisme adalah Fanfic

Zohran Mamdani memang tak pernah mengikuti audisi Survivor, namun salah satu iklan televisi terakhir kampanyenya menempatkannya di tengah-tengah Tribal Council yang tersohor dari acara tersebut. Selama kira-kira 30 detik, sejumlah mantan kontestan Survivor berbicara langsung ke kamera sembari menjelaskan alasan mereka memilih untuk “mengeliminasi” lawan terberat Mamdani, Andrew Cuomo, dari “pulau” Manhattan.

“Bukankah kami sudah memilihmu keluar?” tanya salah satu mantan kontestan Survivor itu.

Iklan berlatar Survivor ini hanyalah satu dari serangkaian iklan bernuansa fandom yang diluncurkan kampanye Mamdani pada minggu-minggu penutupan pilwakot New York. Iklan-iklan ini dirancang bukan sekadar untuk menjangkau pemilih, tetapi juga untuk menyapa komunitas penggemar di dunianya masing-masing. Kampanye Mamdani termasuk yang pertama tak hanya membina fandom-nya sendiri, melainkan juga menyelami kekuatan fandom yang telah ada. Politik kontemporer belakangan ini telah menjelma menjadi semesta paralel tempat berbagai fandom bersaing dan bersinggungan, dengan politisi paling sukses, seperti Mamdani, mengambil taruhan politik dari kampanye mereka dan menerjemahkannya ke dalam bahasa emosional yang dipahami komunitas-komunitas tersebut.

“Kami yakin, karena sifat sosial acara ini [Survivor], kami bisa meyakinkan lebih dari satu orang, tetapi semua orang yang menontonnya dalam pesta nonton bersama,” kata Eric Stern, seorang strategis Demokrat dan wakil presiden senior firma pesan progresif Fight Agency, yang mengembangkan iklan tersebut. “Iklan itu bisa memicu percakapan, yang pada akhirnya menggerakkan sekelompok orang yang mungkin apatis atau memilih kandidat lain untuk benar-benar bergabung dengan gerakan ini.”

Fandom bukan sekadar tindakan mencintai suatu acara televisi atau menjalin hubungan parasosial dengan seorang selebritas. Ini tentang menjadi bagian dari komunitas orang-orang dengan minat bersama yang saling berbagi lore dan lelucon internal, tetapi juga narasi pahlawan dan penjahat yang mewarnai pandangan dunia mereka. Gerakan politik beroperasi dengan cara serupa, namun hingga belakangan ini, perilaku digital yang menyertai aksi stanning terhadap figur seperti Taylor Swift atau membuat fancam hanya diperuntukkan bagi tokoh-tokoh budaya pop.

MEMBACA  Anthropic Dilaporkan Cabut Akses OpenAI ke Claude

Gerakan “Make America Great Again” Presiden Donald Trump telah membuktikan betapa politik kontemporer dapat berpadu dengan fandom secara sangat efektif. Sepanjang 10 tahun terakhir, pendukung MAGA Trump telah melakukan lebih dari sekadar datang memberikan suara. Mereka menciptakan merchandise dan berpindah-pindah menghadiri rapat kampanye layaknya pengikut setia Deadheads. Di ranah daring, mereka memintal lore rumit tentang kabal deep state yang hanya Trump yang sanggup membongkarnya. Kampanye Trump tidak hanya membangun komunitas penggemarnya sendiri, tetapi juga menyerap fandom di sekitarnya—entah itu estetika gulat profesional atau dunia game—untuk menciptakan titik akses bagi pendukung baru agar mengalir ke dalam gerakan tersebut.

Contoh terbaru persilangan fandom MAGA adalah dengan para gamer konsol era 2000-an awal. Pada Oktober lalu, GameStop memasang sebuah resolusi kebijakan, sebagai lelucon, yang secara resmi menyatakan bahwa Perang Konsol—persaingan ter-meme antara produsen konsol game—telah berakhir setelah tersiar kabar bahwa tambahan baru untuk waralaba Halo Microsoft, Halo: Campaign Evolved, akan kompatibel silang dengan PlayStation Sony. Tak lama setelah pengumuman itu, akun X resmi Gedung Putih mengutip postingan tersebut, dengan klaim bahwa Trump “mengawasi berakhirnya Perang Konsol 20 tahun,” sebuah anggukan terhadap presentasi diri presiden sebagai “presiden perdamaian.”

Tinggalkan komentar